Rabu, 28 Agustus 2024

Bagaimana hukumnya menunda haji padahal di tahun tersebut sudah memenuhi syarat istitho'ah (mampu), yaitu ada biaya/bekal untuk haji, sehat dan giliran antriannya sudah tiba dengan alasan uangnya dipakai untuk hal lain yang sifatnya bukan udzur syar'i?

 


Jawab:

Boleh, karena kewajiban haji tidak harus segera dilakukan meski sudah mampu, tetapi jika suatu saat jatuh miskin maka kewajiban haji menjadi tanggungannya (punya hutang haji). Bahkan dalam Kitab Ihya' 'Ulumiddin disebutkan apabila seseorang menunda haji padahal mampu, kemudian ia meninggal dunia maka ia mati dalam keadaan maksiat.


Kitab Fatawa Al Fiqiyyah Al Kubro

(وَسُئِلَ) ﵁ عَنْ رَجُلٍ اسْتَقَرَّ عَلَيْهِ الْحَجُّ ثُمَّ افْتَقَرَ فَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى الْأُهْبَةِ أَوْ اسْتَقَرَّ عَلَيْهِ لِكَوْنِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ زَوْجَةٌ وَلَا أَوْلَادٌ ثُمَّ تَزَوَّجَ وَجَاءَ لَهُ أَوْلَادٌ هَلْ يُكَلَّفُ عَلَى الْحَجِّ أَوْ لَا بُدَّ مِنْ الِاسْتِطَاعَةِ؟

(فَأَجَابَ) نَفَعَ اللَّهُ بِعُلُومِهِ مَنْ اسْتَطَاعَ الْحَجَّ ثُمَّ افْتَقَرَ اسْتَقَرَّ الْوُجُوبُ فِي ذِمَّتِهِ فَيَلْزَمُهُ الْحَجُّ وَلَوْ مَاشِيًا إنْ قَدَرَ عَلَيْهِ نَعَمْ إنْ كَانَ لَهُ مَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ لَمْ يَلْزَمْهُ الْحَجُّ إلَّا إنْ وَجَدَ مَا يَكْفِيهِمْ ذَهَابهُ وَإِيَابهُ وَكَذَلِكَ لَا بُدَّ أَنْ يَجِدَ مَا يُنْفِقُهُ عَلَى نَفْسِهِ ذَهَابًا وَإِيَابًا أَيْضًا لَكِنْ فِي الْإِحْيَاءِ لَوْ اسْتَطَاعَ الْحَجَّ ثُمَّ أَخَّرَهُ حَتَّى أَفْلَسَ لَزِمَهُ كَسْبُ مُؤْنَتِهِ أَوْ سُؤَالُهَا مِنْ زَكَاةٍ أَوْ صَدَقَةٍ لِيَحُجَّ وَإِلَّا مَاتَ عَاصِيًا وَاَللَّهُ ﷾ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Syekh Ibnu Hajar Al Haitami ditanya tentang orang yang sudah mampu haji (sudah paten wajib haji) kemudian jatuh miskin (menunda haji, kemudian jatuh miskin) sehingga ia tidak mampu mempersiapkan perbekalan dan perlengkapan atau ada orang yang sudah mampu haji (sudah paten wajib haji) karena ia masih belum punya isteri dan anak (bujang) kemudian ia (menunda haji) menikah dan akhirnya punya anak, apakah dia tetap dituntut haji ataukah menunggu istitho'ah (menunggu syarat "mampu") lagi?

Beliau menjawab barangsiapa yang sudah "mampu" berhaji kemudian (menundanya dan) jatuh miskin maka kewajiban haji tetap menjadi tanggungannya sehingga dia wajib menunaikan haji meskipun dengan berjalan kaki jika dia mampu. Memang benar, apabila orang tersebut memiliki tanggungan nafkah maka tidak wajib baginya menunaikan haji kecuali ia mempunyai harta (bekal) yang bisa mencukupi keluarganya (tanggungan nafkahnya) selama ia meninggalkan keluarganya untuk menunaikan haji sampai pulang kembali. Demikian juga, dia harus mempunyai harta (bekal) yang cukup untuk dirinya sendiri selama menunaikan haji hingga pulang kembali. Akan tetapi dalam Kitab Ihya' 'Ulumiddin dikatakan bahwa apabila seseorang sudah memenuhi syarat istitho'ah haji (mampu dan paten wajib haji) kemudian ia menundanya hingga ia jatuh miskin maka wajib baginya bekerja keras untuk mengumpulkan bekal haji atau meminta bekal dari zakat atau shodaqoh untuk kebutuhan hajinya. Jika tidak demikian, maka ia mati dalam keadaan maksiat.


Wallahua'lam bisshowaabb...



0 komentar:

Posting Komentar