Jumat, 29 Desember 2023

NGAJI KITAB HASYIYAH AL BAJURI Seri Ke-5 : Berilah nama yang baik untuk anak²mu supaya bisa tafa'ul (berharap kebaikan) dengan makna yang terkandung dalam nama tersebut

 



(Maqra' teks ada di foto)


[Ucapan Murid Pensyarah (Murid Ibnu Qasim Al Ghazzi):] 

"Syamsuddiin" maksudnya adalah laksana matahari bagi agama (bagaikan mataharinya agama) dari sisi bahwa beliau memperjelas (menjadikan terang) hukum² agama melalui karangan/karya beliau dan catatan² beliau saat ngaji (sehingga para pembaca menjadi faham). Ini adalah 'alam laqob (nama julukan) bagi pensyarah. Laqob adalah sesuatu yang menunjukkan pujian seperti "Zainuddin (perhiasannya agama)" atau menunjukkan celaan seperti "Anfunnaaqoh (hidungnya unta)".


Jika ditanya: 

Mengapa sebagian murid² Syekh Ibnu Qasim Al Ghazzi mendahulukan 'alam laqob padahal wajib mengakhirkannya dari 'alam asma (nama asli) sesuai ilmu nahwu sebagaimana Ibnu Malik berkata dalam Kitab Al Khulasoh (maksudnya adalah Kitab Alfiyah Ibnu Malik):


"Wakkhiron dzaa in siwaahu shohibaa"

"Akhirkanlah 'alam laqob jika selainnya (selain 'alam laqob) ada yang menyertainya".


Yang dimaksud dengan "siwaahu (selainnya/selain 'alam laqob)" adalah khusus untuk 'alam asma (nama asli), karena hal ini maka Ibnu Malik berkata dalam sebagian naskahnya:


"Wa dzaj'al aakhiron idzasman shohiba"

"Laqob ini jadikanlah di akhir apabila 'alam asma (nama asli) menyertainya".


Naskah ini (naskah yang kedua) adalah lebih utama karena sesungguhnya apabila 'alam laqob dan 'alam kunyah berkumpul maka kamu boleh memilih mendahulukan manapun yang kamu mau. Yang demikian ini juga sama berlakunya apabila 'alam asma dan alam kunyah berkumpul (silahkan pilih manapun yang didahulukan).


Maka dijawab pertanyaan di atas tadi: 

Ketentuan tersebut berlaku apabila 'alam laqob tersebut tidak terkenal. Jika 'alam laqob tersebut terkenal (seperti "Syamsuddin" adalah 'alam laqob yang sudah masyhur untuk Syekh Ibnu Qasim Al Ghazzi misalnya) maka boleh mendahulukan 'alam laqob (nama julukan) atas 'alam asma (nama asli) sebagaimana firman Allah ta'ala: "Al Masiih  'Isa bin Maryam" - Surat An Nisa' 171. Selain itu, ulama' ahli tarikh tidak terlalu mempedulikan 'alam laqob lebih didahulukan atas 'alam asma sebab kewajiban mendahulukan 'alam asma atas 'alam laqob adalah menurut ulama' ahli nahwu (bukan menurut ulama' ahli tarikh).


[Ucapan Murid Pensyarah (Murid Ibnu Qasim Al Ghazzi):] 

"Abuu Abdillah", ini adalah 'alam kunyahnya pensyarah. 'Alam kunyah adalah suatu nama yang didahului oleh lafadz abun, ummun, ibnun, bintun, 'ammun, 'ammatun, Khoolun, atau Khoolatun.


[Ucapan Murid Pensyarah (Murid Ibnu Qasim Al Ghazzi):] 

"Muhammad" adalah nama asli beliau yang mulia.


[Ucapan Murid Pensyarah (Murid Ibnu Qasim Al Ghazzi):] 

"Ibnu Qasim" adalah sifat bagi "Muhammad". Adapun Qasim adalah nama ayahnya. Hamzahnya lafadz ibnu (إبن) itu dibuang jika lafadz ibnu jatuh di antara 2 (dua) nama yang kedua²nya mudzakkar, kemudian yang kedua adalah bapak dari  yang pertama, dan lafadz ibnu tidak jatuh di awal garis (frase).


Wallahua'lam bisshowaabb...


Bersambung ke seri-6....




Kamis, 28 Desember 2023

Apakah jenazah yang membusuk dan bau menyengat tetap wajib dimandikan? (misal jenazah yang baru ditemukan setelah beberapa hari, korban pembunuhan sadis, korban kecelakaan pesawat, atau musibah gempa, dll)


 

[Jawab:]

  • Tetap wajib dimandikan sebagaimana jenazah pada umumnya jika tidak ada kekhawatiran rusak/hancur atau berbahaya bagi yang memandikan;
  • Apabila khawatir rusak/hancur saat dimandikan atau berbahaya bagi yang memandikan maka tidak usah dimandikan, tetapi wajib ditayammumi;
  • Jika dimandikan tidak membuat jenazah rusak/hancur hanya saja khawatir bisa mempercepat kerusakan setelah dikuburkan/dimakamkan maka tetap wajib dimandikan.


Kitab Majmu' Syarh Al Muhaddzab

 إذا تعذر غسل الميت لفقد الماء أو احترق بحيث لو غسل لتهرى لم يغسل بل ييمم, وهذا التيمم واجب ; لأنه تطهير لا يتعلق بإزالة نجاسة ، فوجب الانتقال فيه عند العجز عن الماء إلى التيمم كغسل الجنابة ، ولو كان ملدوغا بحيث لو غسل لتهرى أو خيف على الغاسل يمم لما ذكرناه ، وذكر إمام الحرمين والغزالي وآخرون من الخراسانيين أنه لو كان به قروح وخيف من غسله إسراع البلى إليه بعد الدفن ، وجب غسله ; لأن الجميع صائرون إلى البلى ، هذا تفصيل مذهبنا

Apabila sulit (atau tidak mungkin bisa) memandikan mayit karena tidak ditemukan air atau mayit dalam kondisi terbakar sekira jika dimandikan bisa hancur/rusak, maka tidak usah dimandikan, tetapi ditayammumi. Tayammum ini hukumnya wajib karena tayammum adalah mensucikan yang tidak ada kaitannya dengan menghilangkan najis (maksudnya tayammum satu hal, dan menghilangkan najis adalah hal yang lain sehingga berdiri sendiri²). Wajib berpindah ke tayammum ketika tidak bisa menggunakan air seperti halnya mandi junub. Apabila mayit meninggal karena disengat hewan berbisa sekira jika dimandikan bisa hancur/rusak atau khawatir pada diri orang yang memandikan (berbahaya bagi yang memandikan) maka wajib ditayammumi sebagaimana yang telah kami sebutkan. Imam al-Haramain, Imam al-Ghazali dan ulama lain dari bangsa Khurasan menyebutkan, jika pada jenazah ada luka yang bernanah, dan khawatir jika dimandikan justru mempercepat hancurnya jenazah setelah dikuburkan, maka tetap wajib memandikannya, karena semua orang toh pada akhirnya akan hancur. Ini adalah perincian Madzhab kita.


Kitab Al Mausu'ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah

وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ إِلَى أَنَّهُ يُنْتَقَل إِلَى التَّيَمُّمِ عِنْدَ تَعَذُّرِ الْغُسْل لِخَوْفِ تَهَرِّيهِ؛ لأَِنَّ التَّطْهِيرَ لاَ يَتَعَلَّقُ بِإِزَالَةِ نَجَاسَةٍ فَوَجَبَ الاِنْتِقَال فِيهِ عِنْدَ الْعَجْزِ عَنِ الْمَاءِ إِلَى التَّيَمُّمِ كَغُسْل الْجَنَابَةِ. أمَّا لَوْ كَانَ بِهِ قُرُوحٌ وَخِيفَ مِنْ غَسْلِهِ إِسْرَاعُ الْبِلَى إِلَيْهِ بَعْدَ الدَّفْنِ وَجَبَ غُسْلُهُ لأَِنَّ الْجَمِيعَ صَائِرُونَ إِلَى الْبِلَى

Ulama' Syafi'iyah berpendapat bahwa berpindah ke tayamum pada saat memandikannya tidak memungkinkan karena takut hancur/rusak karena bersuci tidak ada kaitannya dengan menghilangkan najis, maka wajib berpindah ke tayammum ketika tidak bisa menggunakan air seperti halnya mandi junub. Namun jika ada luka dan ditakutkan akan cepat rusak setelah dikuburkan, maka tetap wajib memandikannya karena setiap orang pasti bakal rusak.


Wallahua'lam bisshowaab...

Sabtu, 23 Desember 2023

NGAJI KITAB HASYIYAH AL BAJURI Seri Ke-4 : Tentang al Imaam, al 'aalim, dan al 'allaamah

 


(Maqra' teks ada di foto)


[Ucapan Murid Pensyarah (Murid Ibnu Qasim Al Ghazzi):] 

"Al Imaam" secara bahasa (lughot) artinya adalah orang yang diikuti (al muttaba') dengan difathah huruf ba'nya, sedangkan secara istilah artinya adalah orang yang sah untuk diikuti. Lafadz "al imaam" (juga) diucapkan untuk menyebut lauhul mahfudz sebagaimana firman Allah SWT: {Wa kulla syai'in ahsoinaahu fii imaamin mubiin} surat yasin ayat 12. Terkadang yang dimaksudkan dengan "al imaam" adalah lembaran² (catatan) amal. Terkadang lafadz "al imaam" (juga) diucapkan untuk menyebut pemimpin yang agung. Lafadz "imaam" sering dijamakkan dengan menggunakan lafadz "aimmah". Asalnya adalah a'mimatun (أأممة) mengikuti wazan af'ilatun, harakat huruf mim yang pertama dipindah ke hamzah yang kedua, kemudian mim pertamanya diidghamkan ke mim yang kedua. Boleh juga mengganti hamzah yang kedua dengan huruf ya' (ayimmah). Terkadang, lafadz "imaam" (juga) dijamakkan dengan menggunakan lafadz "imaam" (sama seperti mufrodnya). Maka sesekali dia adalah mufrod, dan sesekali dia adalah jamak sama seperti lafadz "hijaanun (هجان)/elok". Dikatakan: naaqotun hijaanun (ناقة هجان) yaitu unta yang elok dan nuuqun hijaanun (نوق هجان) yaitu unta² yang elok² sehingga perbedaan (antara mufrod dan jamak) sifatnya taqdiri (dikira²kan). Terlihat bahwa harakat lafadz "imaam" yang mufrod adalah sama seperti harakatnya lafadz kitaabun (كتاب). Sedangkan harakat lafadz "imam" yang jamak adalah sama seperti harakatnya lafadz 'ibaadun (عباد). Di antara penggunaan lafadz "imam" sebagai jamak adalah terdapat dalam firman Allah SWT: Waj'alna lil muttaqiina Imaaman (Dan jadikanlah kami pemimpin (imam) bagi orang² yang beriman - surat al furqon 74. Tidak perlu untuk bersusah payah seperti sebagian ulama' dalam menyikapi ayat ini. Mereka menganggap bahwa lafadz "imam" pada ayat ini adalah mufrod karena menunjukkan jenis (isim jenis - menunjukkan makna umum) meskipun secara arti ayat mengarahkan pada jamak (pakai redaksi "kami" bukan "saya") atau ada juga yang menafsirkan bahwa lafadz "imam" pada ayat ini adalah mashdar secara asalnya (sehingga yang namanya mashdar itu tidak bisa ditastniyahkan atau dijamakkan, jadi pasti mufrod). Ada pula yang menta'wil bahwa yang dimaksud ayat tersebut adalah "Waj'al kulla wahidin minna lil muttaqiina imaaman (Dan jadikanlah tiap² satu orang dari kami pemimpin (imam) bagi orang² yang beriman)" yaitu ada redaksi "tiap² satu orang" sehingga lafadz "imam" adalah mufrod atau ada juga yang mengatakan bahwa karena thoriqoh (jalan mereka / imam) adalah satu, kemudian ucapan mereka adalah sama maka mereka (imam) seperti satu orang alias mufrod. (Kesemuanya pandangan sebagian ulama' ini tidak perlu seharusnya karena memang lafadz "imam" itu bisa untuk mufrod dan bisa juga untuk jamak).


[Ucapan Murid Pensyarah (Murid Ibnu Qasim Al Ghazzi):]

"Al 'Aalim" maksudnya adalah orang yang disifati dengan ilmu (memiliki sifat mengerti ilmu) meski hanya 1 (satu) masalah, baik melalui jalan usaha (belajar) maupun melalui jalan limpahan yang bersifat ilahi (limpahan dari Allah) yang disebut ilmu ladunniy. Al Imam Al 'Arif As Sya'rani menuqil bahwasanya  seorang murid (maksudnya yaitu orang yang ingin menempuh jalan menuju Allah) akan dilimpahkan 25 (dua puluh lima) ilmu pada malam pertama dari malam² futuhnya, di antaranya adalah ilmu bisa mengetahui siapa² yang bahagia/beruntung dan siapa² yang sengsara, di antaranya lagi adalah ilmu mengetahui bilangan (jumlah) pasir, tumbuh²an dan tanah, serta hal² yang terkandung di dalamnya baik berupa manfaat maupun mudhorot yang dititipkan oleh Allah SWT.


[Ucapan Murid Pensyarah (Murid Ibnu Qasim Al Ghazzi):]

"Al 'Allaamah (yang sangat 'alim)" adalah shighot mubalaghoh (hiperbola/penyangatan) seperti lafadz "An Nassaabah (Seorang yang sangat ahli ilmu nasab)". Huruf ta' (marbuthoh) pada lafadz ini adalah untuk menguatkan mubalaghoh (semakin hiperbola) bukan asal mula ke-mubalaghoh-an karena sesungguhnya faidah mubalaghoh (hiperbola) itu diambil dari shighot (bukan dari ta' marbuthoh). Makna lafadz "al 'allaamah" adalah memiliki banyak ilmu. Adapun ucapan ulama': Al 'Allaamah artinya adalah orang yang ahli dalam menggabungkan ilmu ma'qul (aqli) dan ilmu manqul (naqli) seperti Al Imam Al Quthb As Syirazi, maka terdapat kekurangan dalam pernyataan ini.


Waallahua'lam bisshowaab...

Minggu, 17 Desember 2023

Bagaimana cara mentajhiz (mengurus) jenazah yang belum dikhitan/disunat?

 


[Jawab:]

Sama seperti mentajhiz (mengurus) jenazah pada umumnya, yaitu dimandikan, dikafani dan dimakamkan. Adapun terkait "dishalatinya" maka ada perbedaan pendapat dihubungkan dengan "dimandikan" yaitu bila area di bawah qulfah (di bawah ujung kulit dzakar) sulit dibasuh kecuali dengan melukainya (mengkhitannya), maka:

  • Menurut Imam Ibnu Hajar Al Haitami baik area di bawah qulfah ada najis ataupun tidak ada najis (alias suci) maka jenazah wajib ditayammumi sebagai penambal tidak terbasuhnya area di bawah qulfah, kemudian dishalati karena dhoruroh;

  • Menurut Imam Romli bila area di bawah qulfah suci maka jenazah wajib ditayammumi sebagai penambal tidak terbasuhnya area di bawah qulfah, kemudian dishalati. Namun bila area di bawah qulfah ada najis maka jenazah tidak perlu ditayammumi dan tidak perlu dishalati karena syarat tayammum adalah suci dari najis.

Catatan:

Sebaiknya mengikuti pendapat Imam Ibnu Hajar Al Haitami karena memakamkan tanpa menshalati jenazah itu tidak memuliakannya.

 

perlu diketahui juga bahwa mengkhitan qulfah mayyit hukumnya adalah haram sehingga tidak boleh mengkhitannya.

 


Kitab Fathul Mu'in ma'a Hasyiyah I'anatuttholibin

(قوله: بأنها إلخ) 

الباء سببية متعلقة بتعذر، أي لو تعذر غسل ما تحت القلفة بسبب أنها لا تتقلص، أي لا تنكشف ولا تنفسخ إلا بجرح، يمم عما تحتها. أي وصلى عليه، وإن كان ما تحتها نجسا، للضرورة. وهذا ما قاله ابن حجر. وقال الرملي: إن كان ما تحتها طاهرا ييمم عنه، وإن كان نجسا فلا ييمم، ويدفن بلا صلاة عليه، لان شرط التيمم إزالة النجاسة، وينبغي تقليد الأول، لان في دفنه بلا صلاة عدم احترام الميت.

وعلى كل من القولين يحرم قطع قلفة الميت، وإن عصي بتأخيره. 

[ucapan pengarang: sebab sesungguhnya qulfah (kulit ujung dzakar) ...dst...] 

huruf ba' disini adalah ba' sababiyyah yang berta'alluq pada lafadz ta'addzaro, maksudnya yakni apabila sulit membasuh area di bawah qulfah (di bawah kulit ujung dzakar) disebabkan qulfah tersebut tidak mengerut maksudnya adalah bahwa qulfah tersebut tidak tersingkap dan tidak terbelah (robek) kecuali dengan melukainya maka mayyit tersebut ditayammumi atas area di bawah qulfah (maksudnya adalah tayammum tersebut sebagai penambal atas ketidaksempurnaan mandi disebabkan area di bawah qulfah yang tidak terbasuh), kemudian mayyit tersebut dishalati meskipun area di bawah qulfah (di bawah kulit ujung dzakar) tersebut najis karena termasuk dhoruroh (darurat). Ini adalah pendapat Imam Ibnu Hajar Al Haitami. Imam Ar Romli berkata: Apabila area di bawah qulfah (di bawah kulit ujung dzakar) itu suci maka mayyit tersebut ditayammumi atas area di bawah qulfah (maksudnya adalah tayammum tersebut sebagai penambal atas ketidaksempurnaan mandi disebabkan area di bawah qulfah yang tidak terbasuh), dan apabila area di bawah qulfah (di bawah kulit ujung dzakar) itu najis maka mayyit tersebut tidak ditayammumi, kemudian dimakamkan tanpa dishalati karena syarat (sahnya) tayammum adalah menghilangkan najis (tidak ada najis di tubuh). Sebaiknya taqlid (mengikuti) pendapat pertama (Imam Ibnu Hajar Al Haitami) karena memakamkan tanpa menshalati itu tidak memuliakan mayyit. Berdasarkan 2 (dua) pendapat ini, haram hukumnya mengkhitan (memotong) qulfah (kulit ujung dzakar) mayyit meski mayyit berdosa menunda khitan.


Wallahua'lam bisshowaab...

Minggu, 10 Desember 2023

Apa hukumnya wanita ikut mengantar / mengiring jenazah ke pemakaman?

 


[Jawab:]

Hukumnya makruh (tidak sampai haram) apabila dalam mengantar jenazah tidak ada hal² yang bermuatan haram. Jika ada maka haram hukumnya. Jika memang mau ikut maka posisi jalan wanita di belakang lelaki.


Catatan:

Sebaiknya wanita tidak perlu ikut. 

Contoh² yang membuat hukum makruh tersebut naik tingkat menjadi haram adalah misalnya wanita tidak menutup aurat saat mengiring, meratap yang berlebihan misal dengan suara kencang atau sambil menyakiti diri, pingsan, terguncangnya kejiwaan hingga tidak mau menerima takdir bahkan menyalahkan takdir, timbulnya fitnah laki² dan perempuan dsb.


Kitab Minhajul Qawim Syarh Muqoddimah Al Hadromiyah

ويكره اتباع النساء للجنازة إن لم يتضمن حراما وإلا حرم

Makruh hukumnya wanita ikut mengantar jenazah apabila dalam (proses) mengantar jenazah tersebut tidak mengandung (tidak bermuatan) hal² haram. Jika tidak demikian (maksudnya apabila dalam (proses) mengantar jenazah tersebut mengandung hal² haram) maka haram hukumnya wanita ikut mengantar jenazah.


Kitab Ghurorul Bahiyah Fii Syarh Al Bahjah Al Wardiyah

قال في الروض: وتشييع الجنازة سنة للرجال مكروه للنساء. فلو خالفن وشيعنها فهل المطلوب حينئذ مشيهن أمامها أو خلفها؟ فيه نظر، والظاهر أنه على الأول يتأخرن عن الرجال، ثم رأيت  الشارح ذكر كراهة تشييع النساء.

Imam Ibnu Muqri berkata dalam Kitab Raudh Tholib: mengiring jenazah itu hukumnya sunnah bagi laki² dan makruh bagi perempuan. Apabila perempuan melanggar dan ikut mengiring jenazah, maka apakah yang diperintahkan mereka berjalan di depan jenazah atau di belakang jenazah? pendapat yang dhohir, mereka berjalan di depan jenazah (tetapi) dibelakang laki² (diakhirkan dari laki²). Kemudian aku melihat pensyarah menuturkan akan makruhnya perempuan mengiring jenazah.


Wallahua'lam bisshowaab...

Kamis, 07 Desember 2023

NGAJI KITAB HASYIYAH AL BAJURI Seri Ke-3 : Usia 40 (empat puluh) tahun dianggap sudah matang karena memang masuk kategori "tua" sehingga di usia ini harus ngebut beramal sholih dan meninggalkan maksiat

 



(Maqra' teks ada di foto)

Lanjutan dari sebelumnya...


    Murid² pensyarah Kitab Fathul Qarib mengungkapkan lafadz qoola (قال) menggunakan fi'il madhi bukan fi'il mudhori' karena sesungguhnya ucapan Imam Ibnu Qasim Al Ghazzi (pensyarah kitab) benar² telah terjadi di masa lampau (jadi Kitab Fathul Qarib yang berisi sekian bab dan sekian pasal itu sudah dikarang di masa lalu oleh Imam Ibnu Qasim Al Ghazzi, baru kemudian murid²nya membuat dibajah yang diawali dengan lafadz qoola (قال) karena gurunya sudah mengucapkan dan menuliskan isi kitab sebelum dibajah). Dibajah ini menceritakan ucapan yang telah terjadi di masa lalu dari sebagian murid² Imam Ibnu Qasim Al Ghazzi.


      Yang diungkapkan Imam Al Barmawi yaitu lafadz qoola (قال) menggunakan fi'il madhi bukan fi'il mudhori' karena litahaqquqihi (konsep tahaqququl wuqu', yaitu menunjukan bahwasanya pasti akan terjadi di masa depan sehingga pakai fi'il madhi) sehingga seakan² bakal terjadi di masa depan adalah mardud (tertolak) karena secara haqiqat ucapan pensyarah memang sudah terjadi / sudah terucap (bukan di masa depan baru terjadi).


[Ucapan Murid Pensyarah (Murid Ibnu Qasim Al Ghazzi):]

"As Syaikhu (seorang syekh)" lafadz As Syaikh asalnya adalah mashdar dari fi'il شاخ (Syaakho). Diucapkan: Syaakho, yasyiikhu, Syaikhon. Kemudian lafadz tersebut disifati (dijadikan sifat) karena mubalaghoh (hiperbola / bermakna sangat). Sah juga apabila As Syaikh adalah sifat musyabbahah bismil fa'il (sifat yang diserupakan dengan isim fa'il).


       As Syaikhu secara lughot (bahasa) adalah orang yang telah mencapai usia 40 tahun karena manusia selagi masih di dalam perut ibunya maka disebut janin karena ia tersembunyi dan tertutup. Setelah lahir disebut bayi, anak cucu, anak kecil. Setelah baligh disebut pemuda, belia. Setelah berusia 30 tahun disebut kahlun (paruh baya). Setelah berusia 40 tahun, untuk laki² disebut Syaikhun (orang yang tua) dan untuk perempuan disebut syaikhotun (orang yang tua). As Syaikhu secara istilah adalah orang yang mencapai derjat ahli keutamaan ('alim, sholih dll) meskipun masih anak kecil. Lafadz As Syaikhu (isim mufrod) memiliki 11 (sebelas) jama': yang 5 (lima) diawali dengan huruf Syin (ش), yaitu Syuyuukhun (didhommah syinnya) dan Syiyuukhun (dikasrah syinnya), kemudian Syayakhotun (difathah ya'nya) dan Syaykhotun (disukun ya'nya), lalu Syiikhoonun seperti lafadz Ghilmaanun. Yang 5 (lima lainnya) diawali dengan huruf mim (م), yaitu Masyaayikhun (dengan menggunakan ya' bukan hamzah), kemudian Masyiikhotun (difathah mimnya) dan Misyiikhotun (dikasrah mimnya), kemudian Masyuukhoou (dengan menetapkan wawu setelah ya') dan  Masyiikhoou (dengan menghilangkan wawu). Yang 1 (satu) sisanya diawali dengan hamzah, yaitu Asyaakhun. 


       Semua lafadz jama' tersebut adalah Syadz (abnormal / aneh) kecuali 2 (dua) jama' saja, yang pertama adalah Syuyuukhun (شيوخ) sebagaimana yang dikehendaki oleh Imam Ibnu Malik dalam Kitab Alfiyahnya:

        Seperti lafadz fa'ilun (contohnya kabidun) yang dijamakkan mengikuti wazan fu'uulun (فعول) menjadi kubuudun, maka berlaku juga dalam isim yang berwazan fa'lun yang dimutlakkan fa' fi'ilnya (maksudnya dimutlakkan fa' fi'ilnya adalah bisa jadi fa'lun, fi'lun dan fu'lun) maka jamaknya juga mengikuti wazan fu'uulun (فعول) sehingga Syaikhun menjadi Syuyuukhun. Yang kedua (yang tidak syadz) adalah Asyaakhun (أشياخ) sebagaimana yang dikehendaki oleh Imam Ibnu Malik dalam Kitab Alfiyahnya:

      Isim Tsulatsi (mufrod) yang ketika jamaknya tidak mengikuti wazan af'ulun maka jamaknya mengikuti wazan af'aalun (أفعال). Lafadz Syaikhun tidak memiliki jamak Asyukhun maka jamaknya mengikuti wazan af'aalun menjadi Asyaakhun (أشياخ).


Wallahua'lam bisshowaab....

Bersambung ke Seri 4....


Catatan Penting untuk membantu pemahaman:

Contoh konsep tahaqquq wuqu' (suatu kejadian di masa depan yang pasti bakal terjadi nyata) adalah misal di ayat pertama Surat Al Waqi'ah: Idza Waqoatil Waqiah (apabila terjadi hari kiamat)..dst..... menggunakan fi'il madhi bukan mudhori' karena untuk tahaqquq wuqu' sesuatu yang belum terjadi tetapi bakal pasti terjadi kelak. Fi'ilnya justru menggunakan fi'il madhi (lampau). 


Hal ini tidak berlaku dalam dibajah di atas karena ucapan Imam Ibnu Qasim Al Ghazzi tentang syarah atas Matan Abi Syuja' benar² "telah terjadi" di masa lalu bukan "akan terjadi" oleh karenanya penggunaan fi'il madhi di atas bukan karena konsep tahaqquq wuqu' melainkan karena memang lampau secara haqiqotan.


Minggu, 03 Desember 2023

Apakah benar masa kesunnahan ta'ziyah itu 3 (tiga) hari? Bagaimana jika berta'ziyah di hari keempat, kelima, dst?

 


[Jawab:]

Hukumnya Ta'ziyah setelah lewat 3 (tiga) hari adalah Makruh, kecuali yang berta'ziyah atau yang dita'ziyahi berada di tempat yang jauh maka tidak makruh karena masa 3 (tiga) hari dihitung sejak orang yang berta'ziyah atau yang dita'ziyahi berada di tempat yang dekat.


Kitab Kifayatul Akhyar Fii Halli Ghoyatil Ikhtishar

والأولى أن تكون قبل الدفن لأنه وقت شدة الحزن وتكون في ثلاثة أيام لأن قوة الحزن لا تزيد عليها في الغالب وبعد الثلاثة مكروه لأنها تجدد الحزن وقد جعل رسول اللّه صلى الله عليه وسلم نهاية الحزن ثلاثا ففي الصحيحين: (لا يحل لإمرأة تؤمن باللّه واليوم الآخر أن تحد على الميت فوق ثلاث إلا على زوج أربعة أشهر وعشراً) وابتداء الثلاثة من الدفن جزم به النووي في شرح المهذب ونقله عن الأصحاب. نعم جزم المارودي أنها من الموت وبه جزم ابن الرفعة وصححه الخوارزي ويستثنى ما إذا كان المعزى أو المعزي غائباً فإنها تمتد إلى قدوم الغائب فإذا قدم هل تمتد ثلاثة أيام أم تختص بحالة الحضور؟ قال الإسنائي: كلام الرافعي والنووي يوهم مشروعية الثلاث عند قدوم الغائب وهو كذلك أم تختص بحالة الحضور قال المحب الطبري شيخ مكة: لم أر فيه نقلاً والظاهر مشروعية الثلاثة بعد الحضور واللّه أعلم. 

Yang lebih utama, ta'ziyah itu dilakukan sebelum dimakamkan (sebelum penguburan) karena saat itu merupakan saat duka yang mendalam dan ta'ziyah itu berlangsung dalam waktu 3 (tiga) hari karena pada umumnya, kuatnya kesedihan tidak melebihi di atas 3 (tiga) hari. Ta'ziyah setelah lewat 3 (tiga) hari hukumnya Makruh karena bisa memperbarui kesedihan (duka). Sungguh, Rasulullah SAW mengakhiri duka (kesedihan) selama 3 (tiga) hari. Dalam hadist riwayat Imam Bukhori dan Imam Muslim dikatakan: "Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk ber-ihdad (berkabung, menampakkan kesedihan, tidak berhias, tidak bersolek dll) atas kematian seseorang lebih dari 3 (tiga) hari, kecuali atas meninggalnya suaminya maka boleh ber-ihdad selama 4 bulan 10 hari". Masa 3 (tiga) hari dimulai sejak pemakaman. Hal ini ditetapkan oleh Imam Nawawi dalam Kitab Syarh Al Muhadzzab. Beliau menukilnya dari para Ashab (Ulama' pembesar Madzhab Syafi'i). Memang benar, Imam Al Mawardi menetapkan bahwa masa 3 (tiga) hari dimulai sejak kematian. Pendapat ini juga ditetapkan oleh Imam Ibnu Rif'ah dan dishohihkan oleh Imam Al Khowarizmi. Dikecualikan dari kemakruhan adalah apabila orang yang ta'ziyah atau orang yang dita'ziyahi itu ghoib (berada di tempat yang jauh) maka sesungguhnya ta'ziyah diperpanjang sampai datangnya yang ghoib tadi (baik yang ta'ziyah atau yang dita'ziyahi). Ketika orang yang ta'ziyah atau yang dita'ziyahi tadi sudah hadir (berada di tempat yang dekat), apakah ta'ziyah diperpanjang 3 (tiga) hari atau dibatasi hanya khusus di hari itu saja (tidak ada perpanjangan)? Imam Al Isnai berkata: pendapat Imam Rofi'i dan Imam Nawawi menggambarkan disyari'atkannya masa 3 (hari) ta'ziyah dihitung sejak hadir (sejak berada di tempat yang dekat). Apakah seperti itu ataukah sebatas pada hari itu saja? Imam Al Muhib At Thobari, Syekh Mekkah berkata: Aku tidak melihat riwayat tentangnya. Pendapat yang dhohir adalah disyari'atkan 3 (tiga) hari setelah hadir (setelah berada di tempat yang dekat). Wallahua'lam


Wallahua'lam bisshowaab...

Sabtu, 02 Desember 2023

Zaid sudah melakukan Shalat Jenazah untuk temannya yang wafat. Bolehkah dia melakukan shalat jenazah lagi untuk yang kedua kalinya? Bagaimana hukumnya?

 


[Jawab:]

  • Pendapat yang Mu'tamad menghukumi Khilaful Aula (menyelisih keutamaan, mirip dengan Makruh meski lebih ringan);
  • Pendapat yang kedua menghukumi Mubah (boleh)


Catatan:

Lebih baik tidak usah shalat lagi bagi orang yang sudah melaksanakannya.


Kitab Fathul Mu'in Ma'a Hasyiyah I'anatuttholibin

ولا يندب لمن صلاها ولو منفردا إعادتها مع جماعة فإن أعادها وقعت نفلا. وقال بعضهم: الإعادة خلاف الأولى.

Tidak disunnahkan bagi orang yang telah melaksanakan shalat jenazah (walaupun shalatnya sendirian) untuk mengulang shalat lagi (melakukan shalat jenazah lagi) secara berjamaah. Jika dia mengulanginya lagi maka statusnya adalah shalat sunnah. Sebagian Ulama' berkata: mengulang shalat jenazah (bagi yang sudah shalat) hukumnya adalah khilaful aula (menyelisihi keutamaan).


(قوله: ولا يندب الخ) 

قال ع ش: فتكون مباحة.اه.

(قوله: إعادتها مع جماعة)

 وبالأولى عدم ندب إعادتها منفردا.

وإنما لم تندب إعادتها لأن المعاد نفل، وهذه لا يتنفل بها، لعدم ورود ذلك شرعا. وقيل: تندب له الإعادة، كغيرها.

 (قوله: فإن أعادها وقعت نفلا)

 أي ووجب لها نية الفرضية.

قال في النهاية: وهذه خارجة عن القياس، إذ الصلاة لا تنعقد حيث لم تكن مطلوبة، ويوجه انعقادها بأن المقصود من الصلاة على الميت الشفاعة والدعاء، وقد لا تقبل الأولى وتقبل الثانية.اه.

(وقوله: وقال بعضهم الخ) 

مقابل لما يفهم من التعبير بعدم الندب، وهو الإباحة - كما مر آنفا عن ع ش - وصنيعه يقتضي أن قول بعضهم المذكور ضعيف. وعبارة شرح الروض تفهم أنه معتمد، ونصها: قال في المهمات: وفي التعبير بقوله ولا تستحب إعادتها: قصور، فإن الإعادة خلاف الأولى. ولا يلزم من نفي الاستحباب أولوية الترك، لجواز التساوي. ولهذا عبر في المجموع بقوله لا يستحب له الإعادة، بل يستحب له تركها.اه.

[Ucapan pengarang:] 

"Tidak disunnahkan....dst...." Imam Ali Syibromalisi berkata: mengulang shalat jenazah hukumnya mubah.


[Ucapan pengarang:] 

"mengulang shalat (jenazah) secara berjamaah" terlebih lagi tidak ada kesunnahan mengulangnya secara sendirian / munfarid. Tidak disunnahkan mengulangi shalat jenazah karena yang diulang itu statusnya sebagai shalat sunnah sementara shalat jenazah tidak disunnahkan untuk diulangi sebab tidak ada dalilnya dalam syari'at. Ada pendapat lemah yang mengatakan: Disunnahkan (bagi orang yang telah shalat jenazah) untuk mengulangi shalatnya lagi, seperti kesunnahan mengulang shalat pada shalat² lainnya.


[Ucapan pengarang:] 

"Apabila orang tersebut mengulang shalatnya lagi maka jatuhnya/statusnya adalah shalat sunnah" maksud redaksi ini adalah dia tetap harus berniat "fardhu/wajib" (tidak boleh berniat shalat sunnah jenazah meskipun jatuhnya sunnah). Imam Ar Romli berkata dalam Kitab An Nihayah: Mengulang shalat jenazah ini keluar dari qiyas karena shalat itu tidak dilaksanakan ketika tidak diperintahkan. Ulama' yang mesunnahkan atau yang membolehkan mengulang shalat jenazah beralasan karena tujuan dari shalat jenazah adalah sebagai syafa'at (pertolongan) serta do'a untuk si mayit sementara terkadang shalat yang pertama tidak diterima, sedangkan shalat yang kedua terkadang (justru) yang diterima.


[Ucapan pengarang:]

"Sebagian ulama' berkata: mengulang shalat jenazah bagi yang sudah melakukannya adalah khilaful aula (menyelisihi keutamaan)" ini sebagai pendapat muqobilnya (lawannya) 'ibarot yang difahami dari: tidak ada kesunnahan (mengulang shalat jenazah). pendapat muqobil (lawan) tersebut adalah Mubah (bukan khilaful aula) sebagaimana penjelasan yang telah lewat barusan, yaitu pendapatnya Imam Ali Syibromalisi. Pendapat beliau ini menunjukkan bahwa Qaulnya sebagian ulama' (yang menyatakan khilaful aula) adalah qaul dho'if (pendapat lemah). 'Ibarot dalam Kitab Syarh Ar Raudhah memberi kefahaman bahwa pendapat sebagian ulama' yang mengatakan khilaful aula (justru) pendapat yang mu'tamad (bukan pendapat lemah). Redaksinya begini: pengarang berkata dalam Kitab Al Muhimmat Fi Syarh Ar Raudhah Wa Ar Rofi'i: Dalam 'Ibarot yang menyatakan bahwa "tidak disunnahkan mengulangi shalat jenazah" terdapat pengurangan (peringkasan teks) karena sesungguhnya mengulang shalat jenazah (bagi yang sudah melakukan) hukumnya adalah khilaful aula. Redaksi "tidak disunnahkan" itu tidak harus bermakna "lebih baik (lebih utama) ditinggalkan" karena boleh juga bermakna "setara (boleh² saja dilakukan meski tidak disunnahkan)". Oleh karena hal inilah maka Imam Nawawi dalam Kitab Majmu'nya mengungkapkan dengan ucapannya (yang lebih jelas): "Tidak disunnahkan mengulangi shalat jenazah bagi yang sudah melaksanakannya, bahkan disunnahkan untuk meninggalkannya".


Wallahua'lam bisshowaab...

Jumat, 01 Desember 2023

NGAJI KITAB HASYIYAH AL BAJURI Seri Ke-2 : Ternyata membaca lafadz "Bismillahirrahmaanirrahiim" tidak selalu mendapatkan pahala, adakalanya malah berdosa. Kapan itu?

 


(Maqra' teks ada di foto)  

Lanjutan dari sebelumnya.......


      Akan tetapi orang yang membuat dibajah (kalimat pembuka), yaitu murid²nya Imam Ibnu Qasim Al Ghazzi mencukupkan diri dengan basmalahnya pensyarah (gurunya. Cukup "numpang" basmalahnya Fathul Qarib di awal kitab). Oleh karenanya, mereka mendahulukan basmalah pensyarah baru kemudian dibajahnya agar barokahnya basmalah kembali pada dibajah (maksudnya barokahnya basmalah mencakup/meluber juga pada dibajah).

    Ketahuilah, sesungguhnya membaca basmalah itu disunnahkan atas setiap perkara yang dinilai penting, maksudnya yaitu hal² yang sekira dianggap penting menurut syari'at karena riwayat hadist yang telah lalu (silahkan dicek di Seri Ke-1). Basmalah itu diharamkan atas setiap perkara yang haram secara dzatiyyahnya (secara dzatnya haram), seperti minum khamr. Basmalah itu dimakruhkan atas perkara yang makruh secara dzatiyyahnya (secara dzatnya makruh), seperti melihat farji' isterinya. Berbeda halnya jika perkara tersebut adalah perkara yang haram karena adanya sesuatu yang datang (bukan haram secara dzatnya, bukan dari aslinya haram), seperti wudhu dengan air ghasab / air curian (secara dzatnya, wudhu bukan perkara haram, tetapi karena wudhunya pakai air curian maka hukum wudhunya haram meskipun sah wudhunya. Jika saat hendak wudhu membaca basmalah, maka hukum membaca basmalah adalah sunnah). Berbeda pula jika perkara tersebut adalah perkara yang makruh karena adanya sesuatu yang datang (bukan makruh secara dzatnya, bukan dari aslinya makruh), seperti makan bawang, maka untuk 2 (dua) perkara ini tetap disunnahkan membaca basmalah. Membaca basmalah wajib di dalam shalat karena basmalah termasuk ayat dalam surat al fatihah menurut Madzhab kita (Syafi'iyyah). Maka ada 4 (empat) hukum mengenai basmalah (haram, wajib, sunnah, makruh) dan tersisalah hukum mubah (tidak ada hukum mubah). Ada pendapat yang mengatakan bahwa membaca basmalah hukumnya mubah untuk hal² mubah yang tidak ada unsur kemuliaan di dalamnya, seperti memindahkan barang dari satu tempat ke tempat yang lain. Maka menurut pendapat ini berlaku 5 (lima) hukum di dalam membaca basmalah (haram, wajib, sunnah, makruh dan mubah).


[Ucapan Murid Pensyarah (Murid Ibnu Qasim Al Ghazzi):] "Telah berkata:....dst....". Dibajah ini adalah dibajah yang diletakkan oleh sebagian murid²nya karena memuji gurunya. Di sebagian naskah, redaksi ini dibuang (gugur).

      Asal lafadz Qoola adalah Qo Wa La mengikuti wazan Fa 'a la dengan difathah 'ain fi'ilnya, dengan makna bahwa ucapan yang benar adalah seperti ini. Jika tidak diucapkan demikian, maka tidak benar karena orang arab tidak ada yang mengucapkan dengan lafadz tersebut (tidak ada orang arab mengucapkan Qo Wa La saat berbicara, yang ada adalah Qoola). Huruf Qof adalah Fa' kalimah (Fa' fiil), Huruf Wawu adalah 'Ain kalimah ('Ain fiil), dan Huruf Lam adalah Lam kalimah (Lam fiil), kemudian dikatakan kaidah: Wawunya berharakat dan harakat huruf sebelumnya fathah, maka wawunya diganti alif sehingga menjadi Qoola. Asal lafadz Qoola bukanlah Qo Wi La (wazan Fa 'i la dengan dikasrah 'ain fi'ilnya) karena jika demikian maka fi'il mudhori'nya adalah Ya Qoo Lu (bukan Ya Quu Lu) seperti lafadz (Khoofa - Ya Khoo Fu). Asal lafadz Qoola bukanlah Qo Wu La (wazan Fa 'u la dengan didhommah 'ain fi'ilnya) karena jika demikian maka fi'il tersebut adalah fi'il lazim (bukan fi'il muta'addi. padahal kenyataannya, lafadz Qo Wa La / Qoola adalah fi'il muta'addi). Asal lafadz Qoola bukanlah Qoula (wazan Fa'la dengan disukun 'ain fi'ilnya) karena jika demikian maka tidaklah menyebabkan berubahnya wawu menjadi alif karena wawu tersebut berharakat sukun (sehingga tidak sesuai kaidah di atas), selain juga wazan tersebut tidak termasuk wazan² fi'il.


Bersambung ke Seri-3......


Catatan Penting untuk membantu pemahaman: 

Memakan bawang dihukumi "makruh karena adanya sesuatu yang datang" adalah pendapat yang fasid (rusak). Pendapat yang benar adalah memakan bawang hukumnya makruh secara dzatiyyahnya (secara asalnya makruh);

Untuk paragraf terakhir adalah materi tentang Shorof dan I'lal. Silahkan dicek di Kitab² Shorof dan I'lal.