Minggu, 15 September 2024

Bagaimana hukumnya bertayammum di suatu wilayah yang untuk memperoleh air saja harus mengantre berjam-jam?

 


Jawab:

Boleh apabila ia yakin giliran antreannya bakal jatuh setelah keluarnya waktu shalat.


*Catatan:

Shalatnya tidak wajib diulang jika memang wilayah tersebut pada umumnya tidak ada air. Tapi jika pada umumnya di wilayah tersebut sebenarnya ada air kemudian tiba-tiba suatu ketika tidak ada air dan hanya ada sumber air yang harus antre maka shalatnya wajib diulang.


Kitab Kasyifatussaja Syarh Safinatunnaja

الحالة الرابعة أن يكون الماء حاضرا لكن تقع عليه زحمة المسافرين بأن يكون في بئر ولا يمكن الوصول إليه إلا بآلة وليس هناك إلا آلة واحدة أو لأن موقف الاستقاء لا يسع إلا واحدا وفي ذلك خلاف، والراجح أنه يتيمم للعجز الحسي ولا إعادة عليه على المذهب

Kondisi keempat: Air ada di sekitarnya tetapi sekelompok musafir berkerumun (mengantre) gambarannya adalah sekiranya ada air di sebuah sumur dan tidak mungkin bisa mendapatkan air tersebut kecuali dengan sebuah alat dan disitu hanya ada 1 (satu) alat atau tempat untuk memperoleh air hanya cukup untuk 1 (satu) orang (sehingga harus antre). Dalam kasus ini ada khilaf. Pendapat yang rajih (kuat) adalah ia bertayammum karena termasuk kategori ajz (tidak mampu) secara hissi (kasat mata/nyata) dan tidak perlu mengulang shalatnya (i'adah).


Kitab Al Majmu' Syarh Al Muhaddzab

إذَا ازْدَحَمَ جَمْعٌ عَلَى بِئْرٍ لَا يُمْكِنُ الِاسْتِقَاءُ مِنْهَا إلَّا بِالْمُنَاوَبَةِ لِضِيقِ الْمَوْقِفِ أَوْ لِاتِّحَادِ آلَةِ الِاسْتِقَاءِ وَنَحْوِ ذَلِكَ فَإِنْ كَانَ يَتَوَقَّعُ وُصُولَ النَّوْبَةِ إلَيْهِ قَبْلَ خُرُوجِ الْوَقْتِ لَمْ يَجُزْ التَّيَمُّمُ وَإِنْ عَلِمَ أَنَّهَا لَا تَصِلُ إلَيْهِ إلَّا بَعْدَ خُرُوجِ الْوَقْتِ فَقَدْ حَكَى جُمْهُورُ الْخُرَاسَانِيِّينَ عَنْ الشَّافِعِيِّ ﵀ أَنَّهُ نَصَّ عَلَى أَنَّهُ يَصْبِرُ لِيَتَوَضَّأَ بَعْدَ الْوَقْتِ

Ketika sekelompok manusia mengerumuni sebuah sumur yang tidak mungkin mengambil air dalam sumur tersebut kecuali dengan bergantian karena sempitnya tempat atau karena alatnya hanya satu dan alasan yang semisalnya maka apabila giliran seseorang itu jatuh sebelum keluarnya waktu shalat maka ia tidak boleh tayammum. Jika ia meyakini bahwasanya tidak mungkin gilirannya jatuh kecuali setelah keluarnya waktu shalat maka Jumhur Ulama' Khurasan telah menceritakan dari Imam Syafi'i bahwasanya beliau menegaskan (terkait masalah ini) adalah orang tersebut harus bersabar untuk berwudhu setelah keluarnya waktu shalat.


Kitab Al Majmu' Syarh Al Muhaddzab

فَالضَّابِطُ الْأَصْلِيُّ مَا قَالَهُ الرَّافِعِيُّ وَأَشَارَ إلَيْهِ إمَامُ الْحَرَمَيْنِ وَصَاحِبُ الشَّامِلِ وَآخَرُونَ أَنَّ الْإِعَادَةَ تَجِبُ إذَا تَيَمَّمَ فِي مَوْضِعٍ يَنْدُرُ فِيهِ عَدَمُ الْمَاءِ وَلَا يَجِبُ إذَا كَانَ الْعَدَمُ يَغْلِبُ فِيهِ

Batasan aslinya adalah apa yang dikatakan oleh Imam Rofi'i dan diisyaratkan oleh Imam Haramain, Shohibu As Syamil dan yang lainnnya bahwasanya i'adah (mengulangi shalat) itu diwajibkan apabila seseorang tersebut tayammum di tempat yang jarang tidak ada air dan tidak wajib i'adah (mengulangi shalat) apabila pada umumnya memang tidak ada air.


Wallahua'lam bisshowaab...

Rabu, 28 Agustus 2024

Bagaimana hukumnya menunda haji padahal di tahun tersebut sudah memenuhi syarat istitho'ah (mampu), yaitu ada biaya/bekal untuk haji, sehat dan giliran antriannya sudah tiba dengan alasan uangnya dipakai untuk hal lain yang sifatnya bukan udzur syar'i?

 


Jawab:

Boleh, karena kewajiban haji tidak harus segera dilakukan meski sudah mampu, tetapi jika suatu saat jatuh miskin maka kewajiban haji menjadi tanggungannya (punya hutang haji). Bahkan dalam Kitab Ihya' 'Ulumiddin disebutkan apabila seseorang menunda haji padahal mampu, kemudian ia meninggal dunia maka ia mati dalam keadaan maksiat.


Kitab Fatawa Al Fiqiyyah Al Kubro

(وَسُئِلَ) ﵁ عَنْ رَجُلٍ اسْتَقَرَّ عَلَيْهِ الْحَجُّ ثُمَّ افْتَقَرَ فَلَمْ يَقْدِرْ عَلَى الْأُهْبَةِ أَوْ اسْتَقَرَّ عَلَيْهِ لِكَوْنِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ زَوْجَةٌ وَلَا أَوْلَادٌ ثُمَّ تَزَوَّجَ وَجَاءَ لَهُ أَوْلَادٌ هَلْ يُكَلَّفُ عَلَى الْحَجِّ أَوْ لَا بُدَّ مِنْ الِاسْتِطَاعَةِ؟

(فَأَجَابَ) نَفَعَ اللَّهُ بِعُلُومِهِ مَنْ اسْتَطَاعَ الْحَجَّ ثُمَّ افْتَقَرَ اسْتَقَرَّ الْوُجُوبُ فِي ذِمَّتِهِ فَيَلْزَمُهُ الْحَجُّ وَلَوْ مَاشِيًا إنْ قَدَرَ عَلَيْهِ نَعَمْ إنْ كَانَ لَهُ مَنْ تَلْزَمُهُ نَفَقَتُهُ لَمْ يَلْزَمْهُ الْحَجُّ إلَّا إنْ وَجَدَ مَا يَكْفِيهِمْ ذَهَابهُ وَإِيَابهُ وَكَذَلِكَ لَا بُدَّ أَنْ يَجِدَ مَا يُنْفِقُهُ عَلَى نَفْسِهِ ذَهَابًا وَإِيَابًا أَيْضًا لَكِنْ فِي الْإِحْيَاءِ لَوْ اسْتَطَاعَ الْحَجَّ ثُمَّ أَخَّرَهُ حَتَّى أَفْلَسَ لَزِمَهُ كَسْبُ مُؤْنَتِهِ أَوْ سُؤَالُهَا مِنْ زَكَاةٍ أَوْ صَدَقَةٍ لِيَحُجَّ وَإِلَّا مَاتَ عَاصِيًا وَاَللَّهُ ﷾ أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Syekh Ibnu Hajar Al Haitami ditanya tentang orang yang sudah mampu haji (sudah paten wajib haji) kemudian jatuh miskin (menunda haji, kemudian jatuh miskin) sehingga ia tidak mampu mempersiapkan perbekalan dan perlengkapan atau ada orang yang sudah mampu haji (sudah paten wajib haji) karena ia masih belum punya isteri dan anak (bujang) kemudian ia (menunda haji) menikah dan akhirnya punya anak, apakah dia tetap dituntut haji ataukah menunggu istitho'ah (menunggu syarat "mampu") lagi?

Beliau menjawab barangsiapa yang sudah "mampu" berhaji kemudian (menundanya dan) jatuh miskin maka kewajiban haji tetap menjadi tanggungannya sehingga dia wajib menunaikan haji meskipun dengan berjalan kaki jika dia mampu. Memang benar, apabila orang tersebut memiliki tanggungan nafkah maka tidak wajib baginya menunaikan haji kecuali ia mempunyai harta (bekal) yang bisa mencukupi keluarganya (tanggungan nafkahnya) selama ia meninggalkan keluarganya untuk menunaikan haji sampai pulang kembali. Demikian juga, dia harus mempunyai harta (bekal) yang cukup untuk dirinya sendiri selama menunaikan haji hingga pulang kembali. Akan tetapi dalam Kitab Ihya' 'Ulumiddin dikatakan bahwa apabila seseorang sudah memenuhi syarat istitho'ah haji (mampu dan paten wajib haji) kemudian ia menundanya hingga ia jatuh miskin maka wajib baginya bekerja keras untuk mengumpulkan bekal haji atau meminta bekal dari zakat atau shodaqoh untuk kebutuhan hajinya. Jika tidak demikian, maka ia mati dalam keadaan maksiat.


Wallahua'lam bisshowaabb...



Selasa, 20 Agustus 2024

Bagaimana hukumnya meminum kopi yang kejatuhan bangkai semut, lalat atau hewan yang semisalnya (hewan yang tidak memiliki darah mengalir)?

 



Jawaban:
Boleh dengan syarat tidak memasukkan bangkai tersebut secara sengaja ke dalam kopi, hukumnya dima'fu, bahkan ketika bangkai tersebut jatuh lagi ketika disingkirkan.

Kitab Hasyiyah Al Jamal
وَلَوْ وَقَعَ ذُبَابٌ فِي مَائِعٍ وَلَمْ يُغَيِّرْهُ فَصُبَّ عَلَى مَائِعٍ آخَرَ لَمْ يُؤَثِّرْ فِيهِ كَمَا هُوَ ظَاهِرٌ لِطَهَارَتِهِ الْمُسَبِّبَةِ عَنْ مَشَقَّةِ الِاحْتِرَازِ اهـ أَقُولُ: ظَاهِرُهُ وَإِنْ كَانَ الصَّبُّ قَبْلَ نَزْعِ الذُّبَابِ مِنْ الْمَصْبُوبِ وَلَيْسَ بِبَعِيدٍ. وإِنْ قُلْنَا: إنَّهُ يَضُرُّ إلْقَاءُ الذُّبَابِ مَيِّتًا لِأَنَّ الْإِلْقَاءَ تَابِعٌ لِإِلْقَاءِ الْمَائِعِ لَا مَقْصُودٌ
Apabila ada seekor lalat jatuh ke dalam zat cair dan tidak mengubah (sifat cairan tersebut), kemudian zat cair tadi dituangkan ke dalam cairan lainnya maka tidak berpengaruh sebagaimana telah jelas karena dihukumi suci sebab sulit menghindarinya. Aku katakan: dhohirnya adalah meskipun penuangan tersebut dilakukan sebelum menyingkirkan lalat dari tempatnya. Ini tidak jauh dari kebenaran meskipun kita katakan bahwasanya lalat yang mati (bangkai) bila dijatuhkan bersamaan dengan zat cair tadi bisa menjadikan cairan lainnya najis (tetapi tidak demikian) karena jatuhnya lalat tadi (hakikatnya) hanya mengikuti jatuhnya zat cair (efek ikutan saja), bukan maksud si penuang menjatuhkan bangkai lalat dengan sengaja.

Kitab Hasyiyah Bijirimi Ala Al Khotib
نَعَمْ يُعْفَى عَنْ تَصْفِيَةِ مَا هِيَ فِيهِ بِنَحْوِ خِرْقَةٍ وَعَنْ وُقُوعِهَا عِنْدَ نَزْعِهَا بِأُصْبُعٍ أَوْ عُودٍ وَإِنْ تَكَرَّرَ. اهـ.
Memang benar, dimaafkan (dima'fu) menyaring isinya dengan semisal kain lap dan dimaafkan (dima'fu pula) jatuhnya bangkai hewan tadi ketika menyingkirkannya dengan jari atau tongkat meskipun berulang kali jatuh.

Kitab Bughyatul Mustarsyidin
المعفوَّات في نحو الماء
فائدة : يعفى عما لا يسيل دمه بوقوعه ميتاً ، في نحو المائع بنفسه أو بنحو ريح ، وكذا بطرح بهيمة أو مميز ، وكان مما نشؤه من الماء خلافاً لـ (مر) فيهما ، بل أو من غير مميز مطلقاً ، أو مميز بلا قصد ، كأن قصد طرحه على غيره فوقع فيه ، قاله الخطيب ، بل رجح في الإيعاب و ق ل عدم الضرر مطلقاً ، وهو ظاهر عبارة الإرشاد وغيره ، كما لا أثر لطرح الحي مطلقاً ، قال ابن حجر في حاشية تحفته : وإذا تأملت جميع ما تقرر ، ظهر لك أن ما من صورة من صور ما لا دم له سائل طرح أم لا منشؤه من الماء أم لا ، إلا وفيه خلاف في التنجيس وعدمه ،إما قوي أو ضعيف ، وفيه رخصة عظيمة في العفو عن سائر هذه الصور ، إما على المعتمد أو مقابله ، فمن وقع له شيء جاز تقليده بشرطه ، وهذا بناء على نجاسة ميتته ، أما على رأي من يقول إنها طاهرة فلا إشكال في جواز تقليد ذلك ، اهـ كردي.
وأفتى أبو مخرمة بأنه لا يضر نقل ما فيه الميتة المعفوّ عنها من إناء لآخر ، كما لا يضر إدارته في جوانب الإناء ومسها لجوانبه.
Najis² yang dimaafkan di semisal air
Faidah: dimaafkan najis berupa bangkainya "hewan yang tidak memiliki darah mengalir" yang jatuh di semisal cairan dengan sendirinya, atau jatuh karena semisal angin. Demikian juga ketika dijatuhkan oleh seekor binatang atau oleh anak yang sudah tamyiz, dan "hewan yang tidak memiliki darah mengalir" tersebut adalah hewan yang berasal dari air. Berbeda halnya menurut Imam Romli, bahkan menurut beliau (juga dimaafkan) secara mutlak ketika dijatuhkan oleh anak yang belum tamyiz ataupun dijatuhkan oleh anak yang sudah tamyiz dengan tanpa sengaja menjatuhkannya ke dalam cairan tadi seperti ia bermaksud melemparnya ke orang lain tapi malah jatuh ke dalam cairan tersebut. Hal yang demikian dikatakan oleh Al Khotib. Bahkan dikuatkan dalam Kitab Al I'ab akan kebolehannya secara mutlak (baik anak tamyiz tadi sengaja ataupun tidak). Ini adalah dhohirnya ibarot Kitab Al Irsyad dan lainnya sebagaimana tidak ada pengaruh apapun ketika dijatuhkan oleh orang yang hidup secara mutlak. Ibnu Hajar berkata dalam Kitab Tuhfahnya: Jika kamu perhatikan semua yang telah dikemukakan, maka akan jelas bagimu bahwa tidak ada satupun gambaran dari berbagai model "hewan yang tidak memiliki darah mengalir" baik yang dijatuhkan ataupun tidak, baik yang hidupnya berasal dari air ataupun tidak kecuali yang ada hanyalah khilaf (perbedaan) pendapat mengenai  apakah bisa menajiskan ataukah tidak bisa menajiskan, baik pendapat yang kuat maupun yang lemah, serta adanya rukhsoh (keringanan) yang besar mengenai kema'fuan (dimaafkannya) semua model ini, baik atas pendapat yang mu'tamad ataupun muqobilnya (lawannya). Maka barangsiapa yang mengalami kejadian ini, boleh bertaqlid pada pendapat muqobil dengan syarat²nya. Ini dibangun berdasarkan pendapat yang menyatakan najisnya bangkai "hewan yang tidak memiliki darah mengalir". Adapun pendapat ulama' yang mengatakan bahwa bangkai "hewan yang tidak memiliki darah mengalir" adalah suci, maka tidak ada keraguan akan kebolehan bertaqlid pada pendapat ini. Demikia perkataan Al Kurdy. Abu Mahramah berfatwa bahwasanya tidak berbahaya memindahkan sesuatu (cairan atau lainnya) yang di dalamnya terdapat bangkai yang dima'fu dari satu wadah ke wadah yang lain sebagaimana tidak berbahaya memutarkan cairan tersebut di pinggir² wadah dan najis ma'fu tersebut menyentuh sisi² wadah.


 Wallahua'lam bisshowaab....

Sabtu, 03 Agustus 2024

Bagaimana hukumnya membuat Al Qur'an dengan model warna pada teksnya, memberi tanda pada ayat-ayat tertentu agar menarik dan mempermudah bacaan, tajwid dll?

 


Jawaban:

Boleh, bahkan disunnahkan


Kitab Al Majmu' Syarh Al Muhaddzab

(الثَّالِثَةَ عَشْرَةَ)

 أَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ عَلَى وُجُوبِ صِيَانَةِ الْمُصْحَفِ وَاحْتِرَامِهِ فلوْ أَلْقَاهُ وَالْعِيَاذُ بِاَللَّهِ فِي قَاذُورَةٍ كَفَرَ وَأَجْمَعُوا عَلَى اسْتِحْبَابِ كِتَابَةِ الْمُصْحَفِ وَتَحْسِينِ كِتَابَتِهِ وَتَبْيِينِهَا وَإِيضَاحِهَا وَإِيضَاحِ الْخَطِّ دُونَ مَشَقَّةٍ وَتَعْلِيقِهِ وَيُسْتَحَبُّ نَقْطُ الْمُصْحَفِ وَشَكْلُهُ لِأَنَّهُ صِيَانَةٌ لَهُ مِنْ اللَّحْنِ وَالتَّحْرِيفِ

[Ketiga belas], Ulama' bersepakat atas wajibnya menjaga mushaf dan memuliakannya. Apabila seseorang melemparnya di kotoran (semoga Allah melindungiku) maka jadi kafir ia. Ulama' bersepakat atas kesunnahan menulis mushaf dan memperindah tulisannya, menandainya, memperjelasnya, memperjelas khat tanpa menyulitkan dan memberikan ta'liq (catatan) pada khat tersebut. Disunnahkan memberi titik dan harakat pada mushaf karena hal tersebut dapat menjaga dari lahn (kekeliruan) dan tahrif (distorsi/penyimpangan).


Kitab Manahilul 'Irfan fii 'Ulumil Qur'an

المصاحف في دور التجويد والتحسين:

كانت المصاحف العثمانية أشبه بماء نزل من السماء فأصاب أرضا خصبة صالحة ولكنها ظامئة متعطشة. فما كاد يصل إليها الماء حتى اهتزت وربت وأنبتت من كل زوج بهيج كذلك المصاحف الشريفة ما كاد عثمان يرسلها إلى الآفاق الإسلامية حتى أقبلت عليها الأمة من كل صوب وحدب وحتى اجتمعت عليها الكلمة في الشرق والغرب وحتى نسخت على غرارها آلاف مؤلفة من المصاحف المقدسة في كل جيل وقبيل. ومما يلفت النظر أن التجويد والصقل والتحسين أخذت تتناول المصاحف على ألوان شتى وضروب متنوعة فهناك تحسينات مادية أو شكلية ترجع إلى النسخ والطبع والحجم والورق والتجليد والتذهيب ونحو ذلك. وهذه لا تعنينا كثيرا لأن أمرها هين وإن كان فيها بعض التيسير أو التشويق إلى القرآن الكريم. وهناك تحسينات معنوية أو جوهرية ترجع إلى تقريب نطق الحروف وتمييز الكلمات وتحقيق الفروق بين المتشابهات عن طريق الإعجام والشكل ونحوهما.

Mushaf pada era/masa "diperindah dan dibaguskan":

Al-Qur’an mushaf Usmani ibarat air yang turun dari langit dan mengenai tanah yang subur lagi bagus, namun seakan-akan masih haus. Air tersebut sampai pada tanah hingga hiduplah tanah itu, subur dan menumbuhkan berbagai macam tumbuhan yang indah. Begitu pula dengan Al-Qur'an yang dikirim oleh Ustman bin Affan ke wilayah Islam hingga umat itu datang kepadanya dari segala penjuru dan arah, hingga firman Allah berkumpul di Timur dan Barat, dan hingga beribu-ribu Al-Qur'an disalin di setiap generasi dan bangsa. Di antara hal yang menarik perhatian adalah bahwasanya memperindah, memoles, dan membaguskan mushaf itu mulai dilakukan dengan berbagai warna dan variasi/jenis. Ada memperindah (mempercantik) mushaf yang bersifat fisik atau materi yang berkaitan dengan penyalinan, cetakan, ukuran, jenis kertas, penjilidan, penyepuhan, dan yang semisalnya. Hal ini tidak terlalu menjadi perhatian kita karena hal itu mudah meskipun di dalamnya terdapat sedikit efek mempermudah dan menarik hati kepada Al Qur'an Al Kariim. Ada juga memperindah mushaf yang bersifat maknawi atau esensi/inti, yaitu membantu pengucapan huruf², membedakan kata² dan menetapkan/menguatkan perbedaan di antara huruf²/tulisan yang serupa melalui pemberian titik dan harakat, serta lain sebagainya.


Wallahua'lam bisshowaab...

Rabu, 24 Juli 2024

Bagaimana hukumnya membaca Al Qur'an dengan langgam jawa atau dengan jenis lagu yang lain?

 


Jawaban:

Makruh, selama tidak keluar dari kaidah-kaidah tajwid. Jika keluar, maka haram.


Kitab Al Minahul Fikriyah Syarah Jazariyah

وفي الموطأ وسنن النسائي عن حذيفة - رضي الله عنه - عن النبي ﷺ قال: «اقرءوا القرآن بلحون العرب وإياكم ولحون أهل الفسق والكتابين» - إلى أن قال - والمراد بألحان العرب القراءة بالطبائع والأصوات السليقة وبألحان أهل الفسق: الأنغام المستفادة من القواعد الموسيقية، والأمر محمول على الندب والنهي محمول على الكراهة محمول على الكراهة إن حصل له معه المحافظة على صحة ألفاظ الحروف وإلا فمحمول على التحريم،

Dalam Kitab Al Muwattho' dan Kitab Sunan Nasa'i dari Khudzaifah RA, dari Nabi Muhammad SAW: "Bacalah Al Qur'an dengan lagu/nada arab, dan jauhilah lagu/nada ahli fasik dan ahli kitab... dst..... yang dimaksud dengan lagu/nada arab adalah bacaan dengan memakai karakter (tabiat) dan suara-suara yang jelas (fasih, alami). Yang dimaksud dengan lagu/nada ahli fasik adalah lagu/nada yang diadopsi dari kaidah-kaidah (aturan) musik. Perintah dalam hadist ini diarahkan pada hukum SUNNAH, sementara larangan dalam hadist ini diarahkan pada hukum MAKRUH sepanjang masih menjaga kebenaran lafadz² huruf. Apabila tidak memenuhi syarat ini maka diarahkan pada hukum HARAM.


Kitab Al Itqon Fii Ulumil Qur'an

وَأَمَّا الْقِرَاءَةُ بِالْأَلْحَانِ فَنَصَّ الشَّافِعِيُّ فِي الْمُخْتَصَرِ أَنَّهُ لَا بَأْسَ بِهَا وَعَنْ رِوَايَةِ الرَّبِيعِ الْجِيزِيِّ أَنَّهَا مَكْرُوهَةٌ.

قَالَ الرَّافِعِيُّ: قَالَ الْجُمْهُورُ لَيْسَتْ عَلَى قَوْلَيْنِ بَلِ الْمَكْرُوهُ أَنْ يُفَرِّطَ فِي الْمَدِّ وَفِي إِشْبَاعِ الْحَرَكَاتِ حَتَّى يَتَوَلَّدَ مِنَ الْفَتْحَةِ أَلِفٌ وَمِنَ الضَّمَّةِ وَاوٌ وَمِنَ الْكَسْرَةِ يَاءٌ أَوْ يَدْغَمَ فِي غَيْرِ مَوْضِعِ الْإِدْغَامِ فَإِنْ لَمْ يَنْتَهِ إِلَى هَذَا الْحَدِّ فَلَا كَرَاهَةَ.

قَالَ فِي زَوَائِدِ الرَّوْضَةِ: وَالصَّحِيحُ أَنَّ الْإِفْرَاطَ عَلَى الْوَجْهِ الْمَذْكُورِ حَرَامٌ يَفْسُقُ بِهِ الْقَارِئُ وَيَأْثَمُ الْمُسْتَمِعُ لِأَنَّهُ عَدَلَ بِهِ عَنْ نَهْجِهِ الْقَوِيمِ. قَالَ: وَهَذَا مُرَادُ الشَّافِعِيِّ بِالْكَرَاهَةِ.

قلت: وفيه حديث: «اقرؤوا الْقُرْآنَ بِلُحُونِ الْعَرَبِ وَأَصْوَاتِهَا وَإِيَّاكُمْ وَلُحُونَ أَهْلِ الْكِتَابَيْنِ وَأَهْلِ الْفِسْقِ فَإِنَّهُ سَيَجِيءُ أَقْوَامٌ يُرَجِّعُونَ بِالْقُرْآنِ تَرْجِيعَ الْغِنَاءِ وَالرَّهْبَانِيَّةِ لَا يُجَاوِزُ حَنَاجِرَهُمْ مَفْتُونَةٌ قُلُوبُهُمْ وَقُلُوبُ مَنْ يُعْجِبُهُمْ شَأْنُهُمْ». أَخْرَجَهُ الطَّبَرَانِيُّ وَالْبَيْهَقِيُّ.

Adapun bacaan qur'an dengan lagu/nada, maka Imam Syafi'i menegaskan dalam Kitab Mukhtashor bahwasanya tidak mengapa hal demikian. Dari riwayat Imam Ar Rabi' Al Jizi bahwasanya qiroah yang demikian itu hukumnya makruh. Imam Ar Rofi'i berkata: jumhur ulama' berkata bahwasanya tidak ada 2 (dua) pendapat dalam bacaan qur'an dengan lagu/nada, melainkan makruh ketika mengabaikan hukum Mad dan tidak terpenuhinya harakat secara sempurna sehingga muncul alif dari fathah, muncul wawu dari dhommah, dan muncul ya' dari kasrah atau mengidghom tempat yang seharusnya tidak boleh idgham. Apabila tidak sampai batas yang demikian, maka tidak makruh. Imam Nawawi berkata dalam zawaidnya Kitab Ar Raudhah: Yang benar adalah  bahwasanya mengabaikan aspek yang disebutkan tadi hukumnya haram dan bisa menjadikan pembacanya fasik dan yang mendengarkan berdosa karena ia telah berpaling dari metode yang benar. Beliau berkata: Inilah yang dimaksud Imam Syafi'i dengan makruh. Aku katakan: Dalam masalah ini ada hadist: "Bacalah Al Qur'an dengan lagu/nada arab, dan jauhilah lagu/nada ahli fasik dan ahli kitab. Sesungguhnya, kelak akan datang kaum yang menyenandungkan al-Quran sebagaimana yang disenandungkan oleh para penyanyi dan para rahib. Bacaan qur'an mereka itu tidak mencapai kerongkongan mereka. Hati mereka terfitnah, demikian juga hati orang-orang yang mengagumi mereka.” Diriwayatkan oleh Imam Thabrani dan Imam Baihaqi.


Wallahua'lam bisshowaab....


Kamis, 11 Juli 2024

Bolehkah anak kecil yang belum tamyiz memegang Al-Qur'an?

 




Jawaban:

Boleh, dengan syarat ada pendampingan dan pengawasan dari orang tuanya (walinya), gurunya ataupun yang menggantikannya.


Kitab Fathul Mu'in ma'a Hasyiyah I'anatuttholibin

ولا يمنع صبي مميز - محدث ولو جنبا - حمل ومس نحو مصحف لحاجة تعلمه ودرسه ووسيلتهما، كحمله للمكتب والاتيان به للمعلم ليعلمه منه. ويحرم تمكين غير المميز من نحو مصحف، ولو بعض آية.

Anak kecil yang sudah tamyiz (dan berhadast meskipun junub/hadast besar) tidak boleh dilarang membawa dan menyentuh mushaf ketika bertujuan untuk belajar, membacanya serta perantara menuju keduanya, seperti membawa mushaf ke perpustakaan dan mengantarkannya kepada guru untuk dipakai guru tersebut mengajarinya. Haram hukumnya menyerahkan (memasrahkan) mushaf pada anak kecil yang belum tamyiz meskipun sebagian ayat.

(قوله: ولا يمنع صبي الخ) 

أي لا يمنعه وليه أو معلمه من حمل ومس نحو مصحف، كلوحه. لأنه يحتاج إلى الدراسة، وتكليفه استصحاب الطهارة أمر تعظم فيه المشقة. (قوله: ويحرم تمكين غير المميز) أي على الولي أو المعلم لئلا ينتهكه. قال الكردي: قال في الإيعاب: نعم، يتجه حل تمكين غير المميز منه لحاجة تعلمه إذا كان بحضرة نحو الولي، للأمن من أنه ينتهكه حينئذ. قال في المجموع: ولا تمكن الصبيان من محو الألواح بالأقذار.

[Ucapan pengarang : Anak kecil yang sudah tamyiz dan berhadast meskipun junub/hadast besar tidak boleh dilarang...dst...] maksudnya adalah tidak boleh bagi wali atau guru melarangnya membawa dan menyentuh semisal mushaf, seperti lembarannya, karena ia butuh untuk belajar. Adapun beban kewajibannya yang harus dalam keadaan suci adalah suatu perkara yang terdapat masyaqqah (kesulitan) yang besar di dalamnya. 

[Ucapan pengarang : Haram hukumnya menyerahkan (memasrahkan) mushaf pada anak kecil yang belum tamyiz] maksudnya adalah haram bagi wali dan guru menyerahkan mushaf pada anak kecil yang belum tamyiz agar ia tidak merusak kehormatan mushaf. Berkata Imam Al Kurdy: Berkata Imam Ibnu Hajar Al Haitami dalam Kitab Al I'ab: memang benar, pendapat halalnya menyerahkan (memasrahkan) mushaf dan semisalnya kepada anak kecil yang belum tamyiz untuk keperluan belajar adalah cenderung tepat apabila anak tersebut didampingi semisal walinya karena aman dari merusak kehormatan mushaf. Berkata Imam Nawawi dalam Kitab Majmu': anak kecil tidak boleh menghapus (ayat) pada lembaran mushaf dengan kotoran.

(قَوْلُهُ: فَلَا يُمَكَّنُ مِنْ ذَلِكَ)

 أَيْ مَا لَمْ يَكُنْ مَعَهُ مَنْ يَمْنَعُهُ مِنْ انْتِهَاكِ حُرْمَةِ الْمُصْحَفِ اهـ ع ش.

وَعِبَارَةُ الْبِرْمَاوِيِّ قَوْلُهُ: فَلَا يُمَكَّنُ مِنْ ذَلِكَ لِئَلَّا يَنْتَهِكَهُ قَالَ شَيْخُنَا الشبراملسي وَقَدْ يُؤْخَذُ مِنْهُ أَنَّهُ لَوْ كَانَ عِنْدَهُ الْمُعَلِّمُ لَهُ لَا يَحْرُمُ، حَرِّرْهُ، ثُمَّ رَأَيْتُ الْعَلَّامَةَ سم صَرَّحَ بِأَنَّهُ لَوْ تَأَنَّى تَعَلُّمَ غَيْرِ الْمُمَيِّزِ مِنْهُ لَمْ يَبْعُدْ تَمْكِينُهُ مِنْهُ إذَا رَاقَبَهُ الْوَلِيُّ، أَوْ نَائِبُهُ بِحَيْثُ يَمْنَعُهُ مِنْ انْتِهَاكِهِ انْتَهَتْ.

[Ucapan pengarang : Maka anak kecil yang belum tamyiz tidak boleh diserahi (dipasrahi) dari hal itu (mushaf)] maksudnya adalah sepanjang tidak ada pendampingan dari orang lain yang bisa mencegahnya dari pengerusakan kehormatan mushaf. Ibarot Imam Al Barmawiy yang berbunyi: Maka anak kecil yang belum tamyiz tidak boleh diserahi (dipasrahi) dari hal itu (mushaf) agar tidak dirusak kehormatan mushaf. Berkata guru saya, Imam Syibromalisi: terkadang bisa diambil dari redaksi Imam Al Barmawiy adalah apabila di sisi anak kecil yang belum tamyiz tersebut ada gurunya yang mendampingi maka tidak haram. Rumuskan hal itu. Kemudian aku melihat As Syekh Al 'Allamah Ibnu Qasim Al 'Abbadi menerangkan bahwa jika anak yang belum tamyiz secara perlahan-lahan belajar membaca qur'an, maka tidak jauh dari kebenaran akan kebolehan menyerahkan (memasrahkan) mushaf kepadanya apabila walinya mengawasi atau pengganti walinya sekira bisa mencegahnya dari pengerusakan kehormatan mushaf.


Wallahua'lam bisshowaab....

Jumat, 29 Maret 2024

Kang Bedu mengobati matanya dengan obat tetes mata saat sedang berpuasa. Apakah batal puasanya Kang Bedu?


 

Jawaban:

Tidak batal meskipun terasa di tenggorokan.


Kitab Hasyiyah Qalyubi Wa Amirah

(وَلَا) 

يَضُرُّ (الِاكْتِحَالُ وَإِنْ وَجَدَ طَعْمَهُ) أَيْ الْكُحْلِ (بِحَلْقِهِ) لِأَنَّهُ لَا مَنْفَذَ مِنْ الْعَيْنِ إلَى الْحَلْقِ وَالْوَاصِلِ إلَيْهِ مِنْ الْمَسَامِّ (وَكَوْنُهُ) أَيْ الْوَاصِل (بِقَصْدٍ فَلَوْ وَصَلَ جَوْفَهُ ذُبَابٌ أَوْ بَعُوضَةٌ أَوْ غُبَارُ الطَّرِيقِ أَوْ غَرْبَلَةُ الدَّقِيقِ لَمْ يُفْطِرْ) لِأَنَّ التَّحَرُّزَ عَنْ ذَلِكَ يَعْسُرُ وَلَوْ فَتَحَ فَاهُ عَمْدًا حَتَّى دَخَلَ الْغُبَارُ جَوْفَهُ لَمْ يُفْطِرْ عَلَى الْأَصَحِّ فِي التَّهْذِيبِ

Bercelak tidaklah membatalkan puasa meskipun terasa di tenggorokan (meski ada rasanya) karena sesungguhnya tidak terdapat manfadz (saluran, jalan terowongan) dari mata ke tenggorokan sementara sesuatu tersebut bisa sampai ke tenggorokan melalui pori-pori,..dst....


Wallahua'lam bisshowaab...


Selasa, 26 Maret 2024

Saat masuk waktu subuh, Kang Roni tiba² jatuh pingsan. Batalkah puasa Kang Roni sebab pingsan tersebut?

 


Jawaban:

Tidak batal sepanjang masih sempat sadar di sebagian hari (pagi/siang/sore). Apabila pingsan nya sepanjang hari, yaitu mulai terbit fajar hingga terbenam matahari maka batal puasanya.


Kitab Raudhotuttholibin Wa Umdatul Muftin

وَلَوْ نَوَى مِنَ اللَّيْلِ، ثُمَّ أُغْمِيَ عَلَيْهِ، فَالْمَذْهَبُ: أَنَّهُ إِنْ كَانَ مُفِيقًا فِي جُزْءٍ مِنَ النَّهَارِ، صَحَّ صَوْمُهُ، وَإِلَّا، فَلَا، وَهَذَا هُوَ الْمَنْصُوصُ فِي «الْمُخْتَصَرِ» فِي بَابِ الصِّيَامِ. وفِيهِ قَوْلٌ: أَنَّهُ تُشْتَرَطُ الْإِفَاقَةُ مِنْ أَوَّلِ النَّهَارِ. وَفِي قَوْلٍ: يَبْطُلُ بِالْإِغْمَاءِ وَلَوْ لَحْظَةً فِي النَّهَارِ كَالْحَيْضِ، وَمِنْهُمْ مَنْ أَنْكَرَ هَذَا الْقَوْلَ. وفِي قَوْلٍ مُخَرَّجٍ: أَنَّهُ لَا يَبْطُلُ بِالْإِغْمَاءِ وَإِنِ اسْتَغْرَقَ كَالنَّوْمِ.

Apabila seseorang berniat puasa sejak malam hari, kemudian pingsan, maka pendapat Al Madzhab (pendapat yang kuat dan bisa dijadikan pegangan): Jika dia sadar di sebagian dari pagi/siang/sore hari (sebelum terbenam matahari tersadar), maka sah puasanya. Jika tidak demikian, maka tidak sah puasanya. Hal ini ditegaskan dalam Kitab Al Mukhtashor pada bab puasa. Ada qaul dalam hal ini yang menyatakan bahwa disyaratkan sadarnya itu harus sejak awal hari (setelah terbit fajar subuh). Ada pendapat juga yang menyatakan bahwa puasanya batal (secara mutlak) yang disebabkan pingsan di pagi/siang/sore hari meski pingsannya hanya sebentar seperti wanita haid. Sebagian dari Ulama' mengingkari pendapat ini. Menurut Qaul Mukhorroj: tidak batal puasa sebab pingsan meskipun menghabiskan seluruh waktu seperti tidur.


Wallahua'lam bisshowaab...

Rabu, 20 Maret 2024

Sebelum menggosok gigi di pagi hari selepas fajar, Kang Ahmad membasahi sikat giginya dengan air tanpa mengoleskan odol. Sementara Kang Bakar membasahi sikat giginya dengan air dan mengoleskan odol. Saat menggosok gigi, ternyata baik Kang Ahmad maupun Kang Bakar tidak sengaja menelan air dan/atau odol tersebut. Batalkah puasanya mereka berdua?

 



Jawaban:

Batal.

Bersiwak tidak harus mengoleskan air maupun odol sehingga hal seperti ini tidak dianggap sebuah kesulitan ataupun udzur.


Kitab Futuhatul Wahab (Hasyiyah Al Jamal)

(قَوْلُهُ: أَوْ مُخْتَلِطًا بِغَيْرِهِ) 

مِثْلُهُ مَا لَوْ بَلَّ خَيْطًا بِرِيقِهِ وَرَدَّهُ إلَى فَمِهِ كَمَا يُعْتَادُ عِنْدَ الْفَتْلِ، وَعَلَيْهِ رُطُوبَةٌ تَنْفَصِلُ وَابْتَلَعَهَا أَوْ ابْتَلَعَ رِيقَهُ مَخْلُوطًا بِغَيْرِهِ الطَّاهِرِ كَمَنْ فَتَلَ خَيْطًا مَصْبُوغًا تَغَيَّرَ رِيقُهُ بِهِ أَيْ وَلَوْ بِلَوْنٍ أَوْ رِيحٍ فِيمَا يَظْهَرُ مِنْ إطْلَاقِهِمْ إنْ انْفَصَلَتْ عَيْنٌ مِنْهُ لِسُهُولَةِ التَّحَرُّزِ عَنْ ذَلِكَ وَمِثْلُهُ كَمَا فِي الْأَنْوَارِ مَا لَوْ اسْتَاكَ وَقَدْ غَسَلَ السِّوَاكَ وَبَقِيَتْ فِيهِ رُطُوبَةٌ تَنْفَصِلُ وَابْتَلَعَهَا وَخَرَجَ بِذَلِكَ مَا لَوْ لَمْ يَكُنْ عَلَى الْخَيْطِ مَا يَنْفَصِلُ بِقلتهِ أَوْ عَصْرِهِ أَوْ لِجَفَافِهِ فَإِنَّهُ لَا يَضُرُّ اهـ. شَرْحُ م ر

[الجمل ,حاشية الجمل على شرح المنهج = فتوحات الوهاب بتوضيح شرح منهج الطلاب ,2/319]

[Ucapan pengarang: atau bercampur dengan sesuatu yang lain] misalnya adalah apabila seseorang membasahi benang dengan ludahnya kemudian dia mengembalikan benang tersebut ke mulutnya sebagaimana yang lazim dilakukan saat memintal (memilin) benang, padahal pada benang tersebut ada bebasahan (bekas ludahnya tadi) yang terpisah dari benang (dan menempel di mulut), kemudian dia menelannya (maka dalam kasus ini batal puasanya). Atau misalnya dia menelan ludahnya sendiri yang tercampur dengan sesuatu lainnya yang suci seperti orang yang memintal (memilin) benang yang dicelupkan dalam pewarna yang menyebabkan ludahnya berubah, meskipun disebabkan warna ataupun bau menurut pendapat yang dhohir yang dimutlakkan oleh para ulama' sepanjang ada 'ain (sesuatu zat yang terlihat dan terasa) yang terpisah (kemudian ditelan, maka batal puasanya). Ini karena mudah menghindari hal yang demikian itu. Yang semisalnya adalah sebagaimana tercantum dalam Kitab Al Anwar yaitu ketika seseorang bersiwak, dia membasuh alat siwaknya dengan air sehingga terdapat bebasahan pada alat siwak tersebut, kemudian bebasahan tersebut terpisah dari alat siwak tadi (karena menempel di mulut) dan ditelan (maka batal puasanya). Dikecualikan dari hal² tersebut di atas adalah apabila tidak ada bebasahan yang terpisah dari benang (dan alat siwak) karena sangat sedikitnya, atau karena sudah diperas atau karena memang kering maka tidak membatalkan puasa.


Wallahua'lam bisshowaab...

Jumat, 15 Maret 2024

Tidak seperti si Jono dalam kasus sebelumnya, hal yang berbeda dialami si Bejo. Dia justru mengalami keraguan niat saat sudah maghrib (setelah matahari terbenam). Batalkah (tidak sahkah) puasanya Bejo dalam kondisi ragunya setelah terbenam matahari?

 


Jawaban:

Puasanya si Bejo sah karena keraguan niat setelah selesainya ibadah puasa tidaklah berpengaruh pada keabsahan puasa tersebut, lain halnya dengan shalat.


Kitab Nihayatul Muhtaj ilaa Syarh Al Minhaj wa Hasyiyah Syibromalisi

ولَوْ شَكَّ بَعْدَ الْغُرُوبِ هَلْ نَوَى أَوْ لَا وَلَمْ يَتَذَكَّرْ لَمْ يُؤَثِّرْ أَخْذًا مِنْ قَوْلِهِمْ فِي الْكُفَّارِ وَلَوْ صَامَ ثُمَّ شَكَّ بَعْدَ الْغُرُوبِ هَلْ نَوَى أَوْ لَا أَجْزَأَهُ، بَلْ صَرَّحَ بِهِ فِي الرَّوْضَةِ فِي بَابِ الْحَيْضِ فِي مَسْأَلَةِ الْمُتَحَيِّرَةِ. وَالْفَرْقُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الصَّلَاةِ فِيمَا لَوْ شَكَّ فِي النِّيَّةِ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنْهَا وَلَمْ يَتَذَكَّرْ حَيْثُ تُلْزِمُهُ الْإِعَادَةُ التَّضْيِيقَ فِي نِيَّةِ الصَّلَاةِ بِدَلِيلِ أَنَّهُ لَوْ نوَى الْخُرُوجَ مِنْهَا بَطَلَتْ فِي الْحَالِ_

Jika seseorang ragu setelah terbenamnya matahari apakah dia sudah niat atau belum tadi malam dan dia tidak ingat sama sekali, maka keraguan tersebut tidak berpengaruh apapun karena mengambil pendapat para ulama' pada puasa kafaroh: jika seseorang puasa kemudian ragu setelah terbenamnya matahari apakah sudah niat atau belum, maka puasanya sudah mencukupi untuknya, bahkan hal ini diterangkan dalam Kitab Ar Raudhah pada bab haid dalam masalah mutahayyiroh. Perbedaan antara puasa dengan shalat dimana jika timbul keraguan niat setelah shalat maka wajib diulang shalatnya (sementara jika puasa tidak perlu diulang) adalah karena dalam shalat ada unsur "membatasi (memutus) niat shalat" dengan dalil bahwa jika seseorang berniat untuk khuruj (keluar) dari shalat (alias niat membatalkan shalat) maka shalatnya batal seketika.

(قَوْلُهُ: بَطَلَتْ) أَيْ بِخِلَافِ الصَّوْمِ فَلَا يَضُرُّ نِيَّتَهُ الْخُرُوجُ مِن

berbeda halnya dalam puasa maka berniat khuruj (keluar) dari puasa (alias niat membatalkan puasa) tidaklah menjadikan puasa batal.


Wallahua'lam bisshowaab....

Kamis, 14 Maret 2024

Di siang hari bulan Ramadhan, Jono merasa ragu apakah tadi malam sudah niat puasa apa belum. Dia pun berusaha memutar balik ingatannya tadi malam. Batalkah (tidak sahkah) puasanya Jono dalam kondisi ragu niat?

 


Jawaban:

Diperinci:

  • Apabila tidak ingat sama sekali maka puasanya batal (tidak sah) sehingga wajib diqodho';
  • Apabila di siang hari atau sore hari (sebelum terbenamnya matahari) Jono ingat bahwa dia semalam ternyata sudah niat, maka puasanya sah;
  • Apabila di malam hari (setelah terbenamnya matahari) Jono ingat bahwa dia semalam ternyata sudah niat, maka puasanya sah menurut Imam Al Adzro'i, menurut ulama' lain tidak sah;
  • Apabila setelah beberapa hari atau beberapa bulan bahkan beberapa tahun Jono ingat bahwa ternyata dulu ia sudah pernah niat di malam harinya dan dia belum sempat mengqodho' puasanya, maka puasanya sah dan tidak perlu diqodho' menurut Imam Al Adzro'i, menurut ulama' lain tidak sah dan tetap wajib diqodho'.


Kitab Nihayatul Muhtaj ilaa Syarh Al Minhaj wa Hasyiyah Syibromalisi

وَلَوْ شَكَّ نَهَارًا هَلْ نَوَى لَيْلًا ثُمَّ تَذَكَّرَ وَلَوْ بَعْدَ الْغُرُوبِ كَمَا قَالَهُ الْأَذْرَعِيُّ صَحَّ أَيْضًا إذْ هُوَ مِمَّا لَا يَنْبَغِي التَّرَدُّدُ فِيهِ لِأَنَّ نِيَّةَ الْخُرُوجِ لَا تُؤَثِّرُ فَكَيْفَ يُؤَثِّرُ الشَّكُّ فِي النِّيَّةِ، بَلْ مَتَى تَذَكَّرَهَا قَبْلَ قَضَاءِ ذَلِكَ الْيَوْمِ لَمْ يَجِبْ قَضَاؤُهُ، 

Jika seseorang ragu di siang hari apakah tadi malam sudah niat puasa apa belum, kemudian dia ingat bahwa ternyata dia sudah niat puasa meskipun ingatnya setelah terbenamnya matahari sebagaimana yang dikatakan oleh Imam Al Adzro'i maka puasanya sah juga, karena hukum terkait hal ini sudah jelas, sudah semestinya tidak perlu bimbang. Alasannya adalah bahwa niat keluar dari puasa (atau niat membatalkan puasa) itu tidak berpengaruh pada keabsahan puasa, maka bagaimana bisa keraguan berpengaruh pada keabsahan puasa? (padahal niat membatalkan puasa itu lebih ekstrim daripada sekedar ragu apakah sudah niat atau belum). Bahkan ketika dia ingatnya sebelum mengqodho' puasanya (meskipun bertahun-tahun) maka puasa tersebut tidak wajib diqodho'.


فَإِنْ لَمْ يَتَذَكَّرْ وَجَبَ الْقَضَاءُ لِأَنَّ الْأَصْلَ عَدَمُ النِّيَّةِ

Jika dia tidak ingat sama sekali maka wajib diqodho' karena hukum asalnya adalah tidak adanya niat.


Wallahua'lam bisshowaab....


Minggu, 10 Maret 2024

Ada jenazah terus menerus mengeluarkan darah dari tubuhnya. Ternyata, beliau meninggal akibat tertabrak bus. Bagaimana cara memandikan jenazah tersebut? Bolehkah langsung dimandikan dan dishalati padahal darah terus menerus keluar dari tubuhnya?

 


[Jawab:]

  • Dimandikan seperti biasa;
  • Wajib menyumbat dan membalut/mengikat tempat keluarnya darah setelah mayit dimandikan;
  • Setelah proses dimandikan, disumbat dan dibalut, selanjutnya adalah harus segera dishalati, tidak boleh ditunda-tunda.

Kitab Bughyatul Mustarsyidin

مسألة: بن يحيى: تجب إزالة النجاسة غير المعفو عنها عن الميت، سواء الأجنبية والخارجة منه، قبل إدراجه في الكفن اتفاقاً، ولو من غير السبيلين، وكذا بعده في الأصح كغسل الكفن الملوث بها، ولا تصح الصلاة عليه حينئذ مع وجود الماء المزيل لها. وقال البغوي: «لا تجب الإزالة بعد الإدراج مطلقاً وإن تضمخ الكفن» اهـ. قلت: ورجحه في الإمداد، وقال باعشن: ولو لم يمكن قطع الخارج من الميت صح غسله والصلاة عليه، لكن يجب فيه الحشو والعصب على محل النجاسة، والمبادرة بالصلاة عليه كالسلس» اهـ.

[Masalah: Imam Abdullah bin Yahya:] Wajib hukumnya menghilangkan najis yang tidak dima'fu (najis yang tidak dimaafkan) pada mayit, baik najis yang datangnya dari luar maupun najis yang berasal (keluar) dari tubuh mayit sebelum dibungkus kain kafan berdasarkan kesepakatan para ulama', meskipun najis tersebut keluar dari selain 2 (dua) lubang (qubul & dubur). Demikian juga, wajib menghilangkan najis setelah mayit dibungkus kain kafan menurut Qaul Ashoh, seperti membasuh kain kafan yang ternodai oleh najis. Tidak sah menshalati mayit yang ada najisnya ketika masih terdapat air yang bisa menghilangkannya. Imam Al Baghawi berkata,"Tidak wajib menghilangkan najis pada mayit setelah dibungkus kain kafan secara mutlak meskipun kain kafan tersebut tercemar/ternodai najis". Qultu (aku katakan): pendapat tersebut dikuatkan dalam kitab al imdad. Syekh Sa'id Ba'asyan berkata: seandainya tidak mungkin untuk menghentikan najis yang keluar dari tubuh mayit, maka sah memandikan dan menshalatinya, tetapi wajib menyumbat dan membalut/mengikat tempat keluarnya najis, serta segera dishalati seperti halnya orang yang mengalami beser.


Wallahua'lam bisshowaab....

Kamis, 07 Maret 2024

YANG WAJIB SELAMANYA AKAN TETAP WAJIB, DAN YANG SUNNAH SELAMANYA AKAN TETAP SUNNAH




Kewajiban shalat 5 (lima) waktu tidak akan pernah bisa digantikan dengan ibadah sunnah apapun. Konsekuensi dari meninggalkan perintah wajib adalah mendapat dosa. Bahkan, dalam Kitab Az Zawajir 'an Iqtirof al Kabair karya Syekh Ibnu Hajar Al Haitami, meninggalkan shalat atau menunda² shalat sampai terlewat waktunya tanpa ada udzur syar'i termasuk dosa besar, bukan dosa kecil, ingat bukan dosa kecil. Sebaliknya, ibadah (perkara) sunnah apapun jenisnya, seandainya tidak dilakukan sedikitpun maka tidak akan berdosa sama sekali. Oleh karenanya, jangan sampai terbalik, yaitu mewajibkan sesuatu yang sunnah, dan mensunnahkan sesuatu yang wajib.


Kitab Az Zawajir 'an Iqtirof al Kabair

وَأَخْرَجَ الْخَطِيبُ وَابْنُ النَّجَّارِ: «عَلَمُ الْإِسْلَامِ الصَّلَاةُ فَمَنْ فَرَغَ لَهَا قَلْبُهُ وَحَافَظَ عَلَيْهَا بِحَدِّهَا وَوَقْتِهَا وَسُنَنِهَا فَهُوَ مُؤْمِنٌ» .

Diriwayatkan oleh Al Khotib dan Ibnu Najjar, Rasul bersabda: Tiang Islam adalah shalat. Barangsiapa mengabdikan hati untuknya dan menjaganya dengan rukun² & syarat²nya, menjaga waktunya dan sunah-sunnahnya maka ia adalah seorang mukmin sejati.


وَابْنُ مَاجَهْ: «قَالَ اللَّهُ - تَعَالَى - افْتَرَضْتُ عَلَى أُمَّتِك خَمْسَ صَلَوَاتٍ وَعَهِدْتُ عِنْدِي عَهْدًا أَنَّ مَنْ حَافَظَ عَلَيْهِنَّ لِوَقْتِهِنَّ أَدْخَلْتُهُ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَمْ يُحَافِظْ عَلَيْهِنَّ فَلَا عَهْدَ لَهُ عِنْدِي» .

Diriwayatkan oleh Ibnu Majah, Rasul bersabda: Allah SWT berfirman, "Aku mewajibkan atas umatmu untuk melaksanakan shalat 5 (lima) waktu. Aku benar² berjanji pada diriku bahwa barangsiapa yang menjaga shalat² tersebut sesuai waktunya, maka aku akan memasukkan dia ke dalam surga, dan barangsiapa tidak menjaganya, maka tidak ada janji apapun pada diriku untuknya".


وَأَحْمَدُ وَالْحَاكِمُ: «مَنْ عَلِمَ أَنَّ الصَّلَاةَ عَلَيْهِ حَقٌّ وَاجِبٌ وَأَدَّاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ»

Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Al Hakim, Rasul bersabda: Barangsiapa yang benar² mengetahui dan memahami bahwa shalat adalah perkara yang benar dan wajib, serta dia menunaikan shalat tersebut, maka dia masuk surga.


وَالدَّيْلَمِيُّ: «الصَّلَاةُ تُسَوِّدُ وَجْهَ الشَّيْطَانِ، وَالصَّدَقَةُ تَكْسِرُ ظَهْرَهُ، وَالتَّحَابُبُ فِي اللَّهِ، وَالتَّوَدُّدُ فِي الْعمل يَقْطَعُ دَابِرَهُ فَإِذَا فَعَلْتُمْ ذَلِكَ تَبَاعَدَ مِنْكُمْ كَمَطْلِعِ الشَّمْسِ مِنْ مَغْرِبِهَا»

Diriwayatkan oleh Ad Dailamiy, Rasul bersabda: Shalat itu bisa menghitamkan wajah syaithon, sedekah bisa mematahkan punggungnya, saling mencintai karena Allah dan berkasih sayang dalam beramal itu bisa memusnahkannya. Jika kalian melakukan hal tersebut, niscaya syaithon menjauh dari kalian laksana jauhnya tempat terbit matahari dari tempat terbenamnya (sejauh timur dan barat).


Wallahua'lam bisshowaab...

Senin, 04 Maret 2024

Suatu ketika, wanita haid meninggal dunia. Apakah atas jenazah tersebut wajib dimandikan 2 (dua) kali, yaitu dimandikan sebab meninggalnya, kemudian juga dimandikan sebab hadastnya, ataukah cukup dimandikan 1 (satu) kali saja?

 


[Jawab:]

Cukup dimandikan 1 (satu) kali saja, yaitu dimandikan sebab meninggalnya. Hal ini juga berlaku bagi orang junub yang meninggal dunia.


Kitab Bidayatul Muhtaj Syarh Al Minhaj

(ويغسل الجنب والحائض الميت بلا كراهة) 

لأنهما طاهران؛ كغيرهما (وإذا ماتا .. غسّلا غسلًا فقط) لأن الغسل الذي كان عليهما قد انقطع بالموت،

Orang yang junub dan haid tidaklah makruh memandikan mayit (alias boleh² saja memandikan mayit) karena keduanya adalah suci sebagaimana selain mereka. Jika mereka berdua meninggal dunia (orang junub dan haid meninggal dunia) maka cukup dimandikan 1 (satu) kali saja karena kewajiban mandi yang dibebankan pada mereka berdua telah gugur dengan adanya (sebab) kematian.


Wallahua'lam bisshowaab....



Minggu, 18 Februari 2024

Bagaimana hukumnya membedah perut ibu hamil yang meninggal dunia sementara janin yang dikandungnya ada harapan untuk hidup?


 

[Jawab:]

Hukumnya wajib apabila ada dugaan kuat bahwa janin tersebut ada harapan untuk hidup.


Kitab Majmu' Syarh Al Muhaddzab

قال المصنف رحمه الله

{وإن مَاتَتْ امْرَأَةٌ وَفِي جَوْفِهَا جَنِينٌ حَيٌّ شُقَّ جوفها لانه استبقاء حي باتلاف جزء من الميت فأشبه إذا اضطر الي أكل جزء من الميت}

Mushonnif berkata: Jika seorang wanita meninggal dunia dan di dalam perutnya terdapat janin yang hidup, maka perutnya harus dibelah karena menyelamatkan yang hidup dengan jalan merusak bagian dari yang mati sehingga serupa dengan kondisi apabila terpaksa (darurat) harus memakan bagian dari sesuatu yang mati (makan bangkai untuk menyelamatkan nyawa yang hidup) 


{الشَّرْحُ}

 هَذِهِ الْمَسْأَلَةُ مَشْهُورَةٌ فِي كُتُبِ الْأَصْحَابِ وَذَكَرَ صَاحِبُ الْحَاوِي أَنَّهُ لَيْسَ لِلشَّافِعِيِّ فِيهَا نَصٌّ قَالَ الشَّيْخُ أَبُو حَامِدٍ وَالْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ وَالْمَاوَرْدِيُّ وَالْمَحَامِلِيُّ وَابْنُ الصَّبَّاغِ وَخَلَائِقُ مِنْ الْأَصْحَابِ قَالَ ابْنُ سُرَيْجٍ إذَا مَاتَتْ امْرَأَةٌ وَفِي جَوْفِهَا جَنِينٌ حَيٌّ شُقَّ جَوْفُهَا وَأُخْرِجَ فَأَطْلَقَ ابْنُ سُرَيْجٍ الْمَسْأَلَةَ قَالَ أَبُو حَامِدٍ وَالْمَاوَرْدِيُّ وَالْمَحَامِلِيُّ وَابْنُ الصَّبَّاغِ وَقَالَ بَعْضُ أَصْحَابِنَا لَيْسَ هُوَ كَمَا أَطْلَقَهَا ابْنُ سُرَيْجٍ بَلْ يعرض علي القوابل فان قلنا هَذَا الْوَلَدُ إذَا أُخْرِجَ يُرْجَى حَيَاتُهُ وَهُوَ ان يكون له سنة اشهر فصاعدا شق جوفها واخرج وإن قلنا لَا يُرْجَى بِأَنْ يَكُونَ لَهُ دُونَ سِتَّةِ أَشْهُرٍ لَمْ يُشَقَّ لِأَنَّهُ لَا مَعْنَى لِانْتِهَاكِ حُرْمَتِهَا فِيمَا لَا فَائِدَةَ فِيهِ قَالَ الْمَاوَرْدِيُّ وَقَوْلُ ابْنِ سُرَيْجٍ هُوَ قَوْلُ أَبِي حَنِيفَةَ وَأَكْثَرِ الْفُقَهَاءِ (قُلْت) وَقَطَعَ بِهِ الْقَاضِي أَبُو الطَّيِّبِ فِي تَعْلِيقِهِ والعبدرى فِي الْكِفَايَةِ. وَذَكَرَ الْقَاضِي حُسَيْنٌ وَالْفُورَانِيُّ وَالْمُتَوَلِّي والبغوى وغيرهم في الذى لا يرجى حياته وجهين (احداهما) يُشَقُّ (وَالثَّانِي)

لَا يُشَقُّ قَالَ الْبَغَوِيّ وَهُوَ الْأَصَحُّ قَالَ جُمْهُورُ الْأَصْحَابِ فَإِذَا قُلْنَا لَا تشق لَمْ تُدْفَنْ حَتَّى تَسْكُنَ حَرَكَةُ الْجَنِينِ وَيُعْلَمَ أَنَّهُ قَدْ مَاتَ هَكَذَا صَرَّحَ بِهِ الْأَصْحَابُ فِي جَمِيعِ الطُّرُقِ


[Syarah:]

Masalah ini masyhur (terkenal) dalam kitab-kitabnya ashab (pembesar²) Madzhab Syafi'i. Pengarang Kitab Al Hawiy menuturkan bahwa tidak ada nash dari Imam As-Syafi'i tentang masalah ini. Syekh Abu Hamid, Qodhi Abu Thoyyib, Al Mawardi, Al Mahamiliy, Ibnu Shobbagh, dan khalayak dari para pembesar Madzhab Syafi'i mengatakan hal ini. Ibnu Suraij berkata: jika seorang wanita meninggal dunia dan di dalam perutnya terdapat janin yang hidup, maka perutnya harus dibelah dan dikeluarkan janinnya. Kemudian Ibnu Suraij memutlakkan masalah ini (tanpa ada batasan/perincian). Syekh Abu Hamid, Al Mawardi, Al Mahamiliy, Ibnu Shobbagh berkata akan hal ini. Sebagian pembesar Madzhab Syafi'i berkata: masalah ini tidak seperti yang dimutlakkan oleh Ibnu Suraij, bahkan diperluas dari banyak sisi. Jika kita mengatakan anak (janin) ini ketika dikeluarkan dari perut masih ada harapan hidup sekira usianya 1 (satu) tahun atau lebih maka perutnya wanita tersebut harus dibelah dan dikeluarkan anaknya. Jika kita mengatakan tidak ada harapan hidup sekira usianya kurang dari 6 (enam) bulan maka tidak boleh dibelah perutnya karena tidak ada artinya dan karena merusak kehormatan mayit sebab perkara yang tidak ada faidahnya. Imam Al Mawardi mengatakan hal ini. Adapun ucapan Ibnu Suraij adalah ucapan Imam Abu Hanifah dan kebanyakan ulama'. Aku katakan dan hal ini dipastikan oleh Qodhi Abu Thoyyib dalam ta'liqnya dan Al Abdariy dalam kitab al kifayah. Qodhi Husain, Imam Furoni, Imam Mutawalli, Imam Baghowi dan selain mereka menuturkan tentang janin yang tidak ada harapan hidup maka ada 2 (pendapat): pertama, perutnya harus dibelah. Kedua, perutnya tidak boleh dibelah, Imam Baghowi mengatakan hal ini. Ini adalah Qaul Ashoh. Jumhur Ashab (mayoritas pembesar Madzhab Syafi'i) mengatakan: Jika kita katakan tidak boleh dibelah, maka tidak boleh dimakamkan  terlebih dahulu sampai berhenti gerakan janinnya dan diketahui bahwa ia telah meninggal. Begitulah para Ashab menyatakannya dalam semua jalan.


Wallahua'lam bisshowaab...


 

Senin, 22 Januari 2024

Bagaimana hukumnya memasukkan organ² tubuh mayit korban kecelakaan yang terburai keluar dan perutnya robek kemudian menjahitnya?


[Jawab:]

Hukumnya boleh dalam rangka menjaga kehormatan mayit, bahkan hukumnya berubah menjadi wajib apabila banyak najis yang keluar dan najis tersebut tidak bisa berhenti kecuali dengan cara menjahitnya.


Kitab Nihayatul Muhtaj ilaa Syarh Al Minhaj

(قَوْلُهُ: إلَّا بِإِزَالَتِهِ وَجَبَتْ)

 وَيَنْبَغِي أَنَّ مِثْلَ ذَلِكَ مَا لَوْ انْشَقَّ جَوْفُهُ وَكَثُرَ خُرُوجُ النَّجَاسَةِ مِنْهُ وَلَمْ يُمْكِنْ قَطْعُ ذَلِكَ إلَّا بِخِيَاطَةِ الْفَتْقِ، فَيَجِبُ وَيَنْبَغِي جَوَازُ ذَلِكَ إذَا تَرَتَّبَ عَلَى عَدَمِ الْخِيَاطَةِ مُجَرَّدُ خُرُوجِ أَمْعَائِهِ وَإِنْ أَمْكَنَ غُسْلُهُ؛ لِأَنَّ فِي خُرُوجِهَا هَتْكًا لِحُرْمَتِهِ وَالْخِيَاطَةُ تَمْنَعُهُ.

[Ucapan pengarang:.....dst...... kecuali dengan menghilangkannya (rambut) maka wajib dihilangkan..dst.....]

Seyogyanya yang sama seperti hal itu adalah jika perut mayit terbelah/robek dan banyak najis yang keluar darinya dan tidak mungkin menghentikan najis tersebut kecuali dengan cara menjahit perut yang robek, maka wajib menjahitnya. Sudah semestinya, (standar) kebolehan menjahit adalah sekedar keluarnya ususnya si mayit apabila tidak dijahit, meskipun masih memungkinkan memandikan mayit tersebut karena keluarnya usus itu termasuk merusak kehormatan mayit, sementara menjahit bisa mencegahnya.


Wallahua'lam bisshowaab.....

Jumat, 19 Januari 2024

NGAJI KITAB HASYIYAH AL BAJURI Seri Ke-6 : Ke'aliman Syekh Ibrahim Al Bajuri, satu lafadz diuraikan dengan banyak makna

 




(Maqra' teks ada di foto)


[Ucapan Murid Pensyarah (Murid Ibnu Qasim Al Ghazzi):] 

"As Syaafi'iyyu" adalah nisbat kepada Imam As Syafi'i (semoga Allah ta'ala meridhoi beliau) karena beliau beribadah dengan madzhabnya Imam Syafi'i. Nisbat kepada Imam As Syafi'i adalah "Syaafi'iyyun" bukan "Syaf'awiyyun" meskipun sebagian ulama' mengatakan dengan lafadz "Syaf'awiyyun"  karena kaidahnya adalah lafadz yang dinisbatkan (isim mansub) kepada sesuatu yang sudah dinisbat (isim mansub yang lain) itu didatangkan sesuai dengan gambarnya mansub ilaih. Akan tetapi, hal itu dilakukan setelah membuang  huruf ya' nya manshub ilaih dan menetapkan penggantinya (maksudnya mendatangkan ya' yang baru) pada lafadz yang dinisbatkan tersebut. Karena hal ini, Imam Ibnu Malik dalam Kitab Al Khulashoh (Kitab Alfiyah Ibnu Malik) berkata:


"Wa mitslahu mimmaa hawaahuhdzif wa taa...."

Huruf yang semisal dengan ya', yang terkandung dalam lafadz yang bersangkutan (lafadz yang ingin dinisbat/mansub ilaih) harus dibuang....


[Ucapan Murid Pensyarah (Murid Ibnu Qasim Al Ghazzi):] 

"Semoga Allah melimpahkan kepada beliau" maksudnya adalah memenuhi (membanjiri) dan meratakan kepada beliau karena At-Taghmiid pada dasarnya adalah memasukkan pedang ke dalam sarung pedangnya. Yang dimaksud dengan At-Taghmiid adalah lazimnya (menetapnya), yaitu meratakan.


[Ucapan Murid Pensyarah (Murid Ibnu Qasim Al Ghazzi):] 

"dengan rahmatNya (Allah)" maksudnya adalah dengan pemberian kebaikan dari Allah, maka "rahmat" dengan memakai tafsiran ini adalah sifat fi'il (sifat pekerjaan Allah). Bisa juga maksudnya adalah "dengan kehendak pemberian kebaikan dari Allah (irodah)", maka rahmat dengan memakai tafsiran ini adalah sifat dzatnya Allah. Oleh karenanya, dengan memakai tafsiran yang pertama,  maka boleh ketika dikatakan (misal dalam do'a): Allahummajma'na fii mustaqorrirrohmah (Ya Allah, kumpulkanlah kami di tempat menetapnya rahmat) karena sesungguhnya tempat menetapnya rahmat adalah surga (dengan memakai tafsiran yang pertama - pemberian kebaikan dari Allah). Bila memakai tafsiran yang kedua, maka tidak boleh karena rahmat dengan memakai tafsiran ini bermakna menetap pada dzatnya Allah (irodah adalah sifat dzat, bukan sifat fi'il) dan tidak ada perkumpulan pada dzatNya.


Rahmat pada dasarnya adalah kelembutan di dalam hati yang menuntut untuk ramah (senang) dan memberi kebaikan. Makna ini adalah mustahil bagi Allah ta'ala dengan menimbang permulaan makna (mengatakan Allah punya hati adalah mustahil sebab Allah berbeda dengan makhluk, laisa kamitslihi syaiun) , dan jaiz (boleh² saja) dengan menimbang tujuan akhir dari makna tersebut.


[Ucapan Murid Pensyarah (Murid Ibnu Qasim Al Ghazzi):] 

"dan dengan ridhoNya (ridwan/rudwan)" dengan mengkasrah huruf ra' atau mendhommahnya sebagaimana lafadz tersebut dibaca dengan kasrah dan dhommah dalam firman Allah ta'ala: Qul a unabbi`ukum bikhairim min żālikum, lillażīnattaqau 'inda rabbihim jannātun tajrī min taḥtihal-an-hāru khālidīna fīhā wa azwājum muṭahharatuw wa riḍwānum minallāh (Katakanlah: "Inginkah aku kabarkan kepadamu apa yang lebih baik dari yang demikian itu?". Untuk orang-orang yang bertakwa (kepada Allah), pada sisi Tuhan mereka ada surga yang mengalir dibawahnya sungai-sungai; mereka kekal didalamnya. Dan (mereka dikaruniai) isteri-isteri yang disucikan serta keridhaan Allah) - surat ali imran ayat 15. Dan juga dari riwayat Abi Sa'id Al Khudri RA: Sesungguhnya Allah tabaaraka wa ta'ala berkata kepada ahli surga,"Wahai penduduk surga". Mereka berkata,"Aku sambut seruanmu dengan gembira (bahagia) wahai Allah dan segala kebaikan ada di sisiMu". Kemudian Allah berkata,"Apakah kalian ridho?", mereka berkata,"Bagaimana kami tidak ridho wahai tuhanku sementara engkau telah memberi kami nikmat yang tidak engkau berikan kepada satupun dari ciptaanmu?". Allah berkata,"Maukah kalian aku beri yang lebih utama dari hal itu?". Mereka berkata,"Wahai Rabb, adakah sesuatu yang lebih utama dari hal itu?". Allah berkata,"Aku halalkan ridhoku kepada kalian dan aku tidak murka kepada kalian setelahnya selama²nya".


Makna ridwan: adakalanya adalah tidak murka, maka athofnya ridwan pada rahmat termasuk athof 'am (umum) pada khos (khusus) karena tidak murka itu lebih umum daripada ihsan (pemberian kebaikan, dimana ihsan adalah maknanya rahmat, lihat paragraf sebelumnya), yaitu tidak murka bisa jadi disertai dengan memberi kebaikan bisa juga tanpa memberi kebaikan (tidak murka tetapi juga tidak memberi). Adakalanya makna ridwan adalah dekat dan cinta, maka athofnya ridwan pada rahmat termasuk athof khos (khusus) pada 'am (umum) karena rahmat (ihsan/pemberian kebaikan) lebih umum baik pemberian kebaikan tersebut dengan kedekatan dan cinta ataupun tanpa keduanya (alias pemberian yang biasa² saja tanpa cinta dan kedekatan). Adakalanya makna ridwan adalah tsawab (pemberian kebaikan) maka athofnya ridwan pada rahmat termasuk athof yang sepadan (sinonim) karena ihsan dan tsawab adalah satu makna. Terkadang dikatakan bahwa sesungguhnya ihsan (pemberian kebaikan) itu lebih umum daripada tsawab karena tsawab adalah kadar dari balasan yang diberikan Allah kepada hamba²Nya sebagai ganti dari amal² mereka (pahala/ganjaran) sementara ihsan lebih umum dari itu. Adakalanya makna ridwan adalah surga maka athofnya ridwan pada rahmat termasuk athofnya mahall (tempat) pada haal (keadaan) di dalam mahall (tempat).


Dengan keterangan ini, dapat diketahui akan keglobalan dan kesamaran 'ibarotnya Imam Al Barmawi (dalam Kitab Hasyiyah Barmawi), alias masih belum jelas dalam 'ibarot Imam Al Barmawi tersebut.


Wallahua'lam bisshowaab....

Bersambung ke Seri 7....


Catatan Penting untuk membantu pemahaman:


- Isim Mansub adalah isim yang sudah diberi ya' nisbah dan merupakan sesuatu yang dinisbatkan pada sesuatu yang dinisbati.

- Mansub ilaih adalah isim yang belum diberi ya' nisbah dan merupakan sesuatu yang dinisbati oleh isim mansub.

Contoh: Syekh Nawawi Al Bantaniyyu. Lafadz Al Bantaniyyu adalah isim mansub, sedangkan lafadz banten adalah mansub ilaih. Silahkan direnungkan.

- Ada istilah sifat fi'il dan sifat dzat bagi Allah. Perbedaannya adalah bahwa sifat fi'il apabila sifat tersebut tidak ada pada Allah maka tidak menghilangkan kekuasaan dan kemuliaan Allah (tidak menjadi berkurang/cacat), sedangkan sifat dzat adalah apabila sifat tersebut tidak ada pada Allah maka bisa menghilangkan kekuasaan dan kemuliaan Allah (menjadi berkurang/cacat), dan ini mustahil bagi Allah. Contoh adalah "irodah (berkehendak)" yang merupakan sifat dzat.