Jumat, 29 Desember 2023

NGAJI KITAB HASYIYAH AL BAJURI Seri Ke-5 : Berilah nama yang baik untuk anak²mu supaya bisa tafa'ul (berharap kebaikan) dengan makna yang terkandung dalam nama tersebut

 



(Maqra' teks ada di foto)


[Ucapan Murid Pensyarah (Murid Ibnu Qasim Al Ghazzi):] 

"Syamsuddiin" maksudnya adalah laksana matahari bagi agama (bagaikan mataharinya agama) dari sisi bahwa beliau memperjelas (menjadikan terang) hukum² agama melalui karangan/karya beliau dan catatan² beliau saat ngaji (sehingga para pembaca menjadi faham). Ini adalah 'alam laqob (nama julukan) bagi pensyarah. Laqob adalah sesuatu yang menunjukkan pujian seperti "Zainuddin (perhiasannya agama)" atau menunjukkan celaan seperti "Anfunnaaqoh (hidungnya unta)".


Jika ditanya: 

Mengapa sebagian murid² Syekh Ibnu Qasim Al Ghazzi mendahulukan 'alam laqob padahal wajib mengakhirkannya dari 'alam asma (nama asli) sesuai ilmu nahwu sebagaimana Ibnu Malik berkata dalam Kitab Al Khulasoh (maksudnya adalah Kitab Alfiyah Ibnu Malik):


"Wakkhiron dzaa in siwaahu shohibaa"

"Akhirkanlah 'alam laqob jika selainnya (selain 'alam laqob) ada yang menyertainya".


Yang dimaksud dengan "siwaahu (selainnya/selain 'alam laqob)" adalah khusus untuk 'alam asma (nama asli), karena hal ini maka Ibnu Malik berkata dalam sebagian naskahnya:


"Wa dzaj'al aakhiron idzasman shohiba"

"Laqob ini jadikanlah di akhir apabila 'alam asma (nama asli) menyertainya".


Naskah ini (naskah yang kedua) adalah lebih utama karena sesungguhnya apabila 'alam laqob dan 'alam kunyah berkumpul maka kamu boleh memilih mendahulukan manapun yang kamu mau. Yang demikian ini juga sama berlakunya apabila 'alam asma dan alam kunyah berkumpul (silahkan pilih manapun yang didahulukan).


Maka dijawab pertanyaan di atas tadi: 

Ketentuan tersebut berlaku apabila 'alam laqob tersebut tidak terkenal. Jika 'alam laqob tersebut terkenal (seperti "Syamsuddin" adalah 'alam laqob yang sudah masyhur untuk Syekh Ibnu Qasim Al Ghazzi misalnya) maka boleh mendahulukan 'alam laqob (nama julukan) atas 'alam asma (nama asli) sebagaimana firman Allah ta'ala: "Al Masiih  'Isa bin Maryam" - Surat An Nisa' 171. Selain itu, ulama' ahli tarikh tidak terlalu mempedulikan 'alam laqob lebih didahulukan atas 'alam asma sebab kewajiban mendahulukan 'alam asma atas 'alam laqob adalah menurut ulama' ahli nahwu (bukan menurut ulama' ahli tarikh).


[Ucapan Murid Pensyarah (Murid Ibnu Qasim Al Ghazzi):] 

"Abuu Abdillah", ini adalah 'alam kunyahnya pensyarah. 'Alam kunyah adalah suatu nama yang didahului oleh lafadz abun, ummun, ibnun, bintun, 'ammun, 'ammatun, Khoolun, atau Khoolatun.


[Ucapan Murid Pensyarah (Murid Ibnu Qasim Al Ghazzi):] 

"Muhammad" adalah nama asli beliau yang mulia.


[Ucapan Murid Pensyarah (Murid Ibnu Qasim Al Ghazzi):] 

"Ibnu Qasim" adalah sifat bagi "Muhammad". Adapun Qasim adalah nama ayahnya. Hamzahnya lafadz ibnu (إبن) itu dibuang jika lafadz ibnu jatuh di antara 2 (dua) nama yang kedua²nya mudzakkar, kemudian yang kedua adalah bapak dari  yang pertama, dan lafadz ibnu tidak jatuh di awal garis (frase).


Wallahua'lam bisshowaabb...


Bersambung ke seri-6....




Kamis, 28 Desember 2023

Apakah jenazah yang membusuk dan bau menyengat tetap wajib dimandikan? (misal jenazah yang baru ditemukan setelah beberapa hari, korban pembunuhan sadis, korban kecelakaan pesawat, atau musibah gempa, dll)


 

[Jawab:]

  • Tetap wajib dimandikan sebagaimana jenazah pada umumnya jika tidak ada kekhawatiran rusak/hancur atau berbahaya bagi yang memandikan;
  • Apabila khawatir rusak/hancur saat dimandikan atau berbahaya bagi yang memandikan maka tidak usah dimandikan, tetapi wajib ditayammumi;
  • Jika dimandikan tidak membuat jenazah rusak/hancur hanya saja khawatir bisa mempercepat kerusakan setelah dikuburkan/dimakamkan maka tetap wajib dimandikan.


Kitab Majmu' Syarh Al Muhaddzab

 إذا تعذر غسل الميت لفقد الماء أو احترق بحيث لو غسل لتهرى لم يغسل بل ييمم, وهذا التيمم واجب ; لأنه تطهير لا يتعلق بإزالة نجاسة ، فوجب الانتقال فيه عند العجز عن الماء إلى التيمم كغسل الجنابة ، ولو كان ملدوغا بحيث لو غسل لتهرى أو خيف على الغاسل يمم لما ذكرناه ، وذكر إمام الحرمين والغزالي وآخرون من الخراسانيين أنه لو كان به قروح وخيف من غسله إسراع البلى إليه بعد الدفن ، وجب غسله ; لأن الجميع صائرون إلى البلى ، هذا تفصيل مذهبنا

Apabila sulit (atau tidak mungkin bisa) memandikan mayit karena tidak ditemukan air atau mayit dalam kondisi terbakar sekira jika dimandikan bisa hancur/rusak, maka tidak usah dimandikan, tetapi ditayammumi. Tayammum ini hukumnya wajib karena tayammum adalah mensucikan yang tidak ada kaitannya dengan menghilangkan najis (maksudnya tayammum satu hal, dan menghilangkan najis adalah hal yang lain sehingga berdiri sendiri²). Wajib berpindah ke tayammum ketika tidak bisa menggunakan air seperti halnya mandi junub. Apabila mayit meninggal karena disengat hewan berbisa sekira jika dimandikan bisa hancur/rusak atau khawatir pada diri orang yang memandikan (berbahaya bagi yang memandikan) maka wajib ditayammumi sebagaimana yang telah kami sebutkan. Imam al-Haramain, Imam al-Ghazali dan ulama lain dari bangsa Khurasan menyebutkan, jika pada jenazah ada luka yang bernanah, dan khawatir jika dimandikan justru mempercepat hancurnya jenazah setelah dikuburkan, maka tetap wajib memandikannya, karena semua orang toh pada akhirnya akan hancur. Ini adalah perincian Madzhab kita.


Kitab Al Mausu'ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah

وَذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ إِلَى أَنَّهُ يُنْتَقَل إِلَى التَّيَمُّمِ عِنْدَ تَعَذُّرِ الْغُسْل لِخَوْفِ تَهَرِّيهِ؛ لأَِنَّ التَّطْهِيرَ لاَ يَتَعَلَّقُ بِإِزَالَةِ نَجَاسَةٍ فَوَجَبَ الاِنْتِقَال فِيهِ عِنْدَ الْعَجْزِ عَنِ الْمَاءِ إِلَى التَّيَمُّمِ كَغُسْل الْجَنَابَةِ. أمَّا لَوْ كَانَ بِهِ قُرُوحٌ وَخِيفَ مِنْ غَسْلِهِ إِسْرَاعُ الْبِلَى إِلَيْهِ بَعْدَ الدَّفْنِ وَجَبَ غُسْلُهُ لأَِنَّ الْجَمِيعَ صَائِرُونَ إِلَى الْبِلَى

Ulama' Syafi'iyah berpendapat bahwa berpindah ke tayamum pada saat memandikannya tidak memungkinkan karena takut hancur/rusak karena bersuci tidak ada kaitannya dengan menghilangkan najis, maka wajib berpindah ke tayammum ketika tidak bisa menggunakan air seperti halnya mandi junub. Namun jika ada luka dan ditakutkan akan cepat rusak setelah dikuburkan, maka tetap wajib memandikannya karena setiap orang pasti bakal rusak.


Wallahua'lam bisshowaab...

Sabtu, 23 Desember 2023

NGAJI KITAB HASYIYAH AL BAJURI Seri Ke-4 : Tentang al Imaam, al 'aalim, dan al 'allaamah

 


(Maqra' teks ada di foto)


[Ucapan Murid Pensyarah (Murid Ibnu Qasim Al Ghazzi):] 

"Al Imaam" secara bahasa (lughot) artinya adalah orang yang diikuti (al muttaba') dengan difathah huruf ba'nya, sedangkan secara istilah artinya adalah orang yang sah untuk diikuti. Lafadz "al imaam" (juga) diucapkan untuk menyebut lauhul mahfudz sebagaimana firman Allah SWT: {Wa kulla syai'in ahsoinaahu fii imaamin mubiin} surat yasin ayat 12. Terkadang yang dimaksudkan dengan "al imaam" adalah lembaran² (catatan) amal. Terkadang lafadz "al imaam" (juga) diucapkan untuk menyebut pemimpin yang agung. Lafadz "imaam" sering dijamakkan dengan menggunakan lafadz "aimmah". Asalnya adalah a'mimatun (أأممة) mengikuti wazan af'ilatun, harakat huruf mim yang pertama dipindah ke hamzah yang kedua, kemudian mim pertamanya diidghamkan ke mim yang kedua. Boleh juga mengganti hamzah yang kedua dengan huruf ya' (ayimmah). Terkadang, lafadz "imaam" (juga) dijamakkan dengan menggunakan lafadz "imaam" (sama seperti mufrodnya). Maka sesekali dia adalah mufrod, dan sesekali dia adalah jamak sama seperti lafadz "hijaanun (هجان)/elok". Dikatakan: naaqotun hijaanun (ناقة هجان) yaitu unta yang elok dan nuuqun hijaanun (نوق هجان) yaitu unta² yang elok² sehingga perbedaan (antara mufrod dan jamak) sifatnya taqdiri (dikira²kan). Terlihat bahwa harakat lafadz "imaam" yang mufrod adalah sama seperti harakatnya lafadz kitaabun (كتاب). Sedangkan harakat lafadz "imam" yang jamak adalah sama seperti harakatnya lafadz 'ibaadun (عباد). Di antara penggunaan lafadz "imam" sebagai jamak adalah terdapat dalam firman Allah SWT: Waj'alna lil muttaqiina Imaaman (Dan jadikanlah kami pemimpin (imam) bagi orang² yang beriman - surat al furqon 74. Tidak perlu untuk bersusah payah seperti sebagian ulama' dalam menyikapi ayat ini. Mereka menganggap bahwa lafadz "imam" pada ayat ini adalah mufrod karena menunjukkan jenis (isim jenis - menunjukkan makna umum) meskipun secara arti ayat mengarahkan pada jamak (pakai redaksi "kami" bukan "saya") atau ada juga yang menafsirkan bahwa lafadz "imam" pada ayat ini adalah mashdar secara asalnya (sehingga yang namanya mashdar itu tidak bisa ditastniyahkan atau dijamakkan, jadi pasti mufrod). Ada pula yang menta'wil bahwa yang dimaksud ayat tersebut adalah "Waj'al kulla wahidin minna lil muttaqiina imaaman (Dan jadikanlah tiap² satu orang dari kami pemimpin (imam) bagi orang² yang beriman)" yaitu ada redaksi "tiap² satu orang" sehingga lafadz "imam" adalah mufrod atau ada juga yang mengatakan bahwa karena thoriqoh (jalan mereka / imam) adalah satu, kemudian ucapan mereka adalah sama maka mereka (imam) seperti satu orang alias mufrod. (Kesemuanya pandangan sebagian ulama' ini tidak perlu seharusnya karena memang lafadz "imam" itu bisa untuk mufrod dan bisa juga untuk jamak).


[Ucapan Murid Pensyarah (Murid Ibnu Qasim Al Ghazzi):]

"Al 'Aalim" maksudnya adalah orang yang disifati dengan ilmu (memiliki sifat mengerti ilmu) meski hanya 1 (satu) masalah, baik melalui jalan usaha (belajar) maupun melalui jalan limpahan yang bersifat ilahi (limpahan dari Allah) yang disebut ilmu ladunniy. Al Imam Al 'Arif As Sya'rani menuqil bahwasanya  seorang murid (maksudnya yaitu orang yang ingin menempuh jalan menuju Allah) akan dilimpahkan 25 (dua puluh lima) ilmu pada malam pertama dari malam² futuhnya, di antaranya adalah ilmu bisa mengetahui siapa² yang bahagia/beruntung dan siapa² yang sengsara, di antaranya lagi adalah ilmu mengetahui bilangan (jumlah) pasir, tumbuh²an dan tanah, serta hal² yang terkandung di dalamnya baik berupa manfaat maupun mudhorot yang dititipkan oleh Allah SWT.


[Ucapan Murid Pensyarah (Murid Ibnu Qasim Al Ghazzi):]

"Al 'Allaamah (yang sangat 'alim)" adalah shighot mubalaghoh (hiperbola/penyangatan) seperti lafadz "An Nassaabah (Seorang yang sangat ahli ilmu nasab)". Huruf ta' (marbuthoh) pada lafadz ini adalah untuk menguatkan mubalaghoh (semakin hiperbola) bukan asal mula ke-mubalaghoh-an karena sesungguhnya faidah mubalaghoh (hiperbola) itu diambil dari shighot (bukan dari ta' marbuthoh). Makna lafadz "al 'allaamah" adalah memiliki banyak ilmu. Adapun ucapan ulama': Al 'Allaamah artinya adalah orang yang ahli dalam menggabungkan ilmu ma'qul (aqli) dan ilmu manqul (naqli) seperti Al Imam Al Quthb As Syirazi, maka terdapat kekurangan dalam pernyataan ini.


Waallahua'lam bisshowaab...

Minggu, 17 Desember 2023

Bagaimana cara mentajhiz (mengurus) jenazah yang belum dikhitan/disunat?

 


[Jawab:]

Sama seperti mentajhiz (mengurus) jenazah pada umumnya, yaitu dimandikan, dikafani dan dimakamkan. Adapun terkait "dishalatinya" maka ada perbedaan pendapat dihubungkan dengan "dimandikan" yaitu bila area di bawah qulfah (di bawah ujung kulit dzakar) sulit dibasuh kecuali dengan melukainya (mengkhitannya), maka:

  • Menurut Imam Ibnu Hajar Al Haitami baik area di bawah qulfah ada najis ataupun tidak ada najis (alias suci) maka jenazah wajib ditayammumi sebagai penambal tidak terbasuhnya area di bawah qulfah, kemudian dishalati karena dhoruroh;

  • Menurut Imam Romli bila area di bawah qulfah suci maka jenazah wajib ditayammumi sebagai penambal tidak terbasuhnya area di bawah qulfah, kemudian dishalati. Namun bila area di bawah qulfah ada najis maka jenazah tidak perlu ditayammumi dan tidak perlu dishalati karena syarat tayammum adalah suci dari najis.

Catatan:

Sebaiknya mengikuti pendapat Imam Ibnu Hajar Al Haitami karena memakamkan tanpa menshalati jenazah itu tidak memuliakannya.

 

perlu diketahui juga bahwa mengkhitan qulfah mayyit hukumnya adalah haram sehingga tidak boleh mengkhitannya.

 


Kitab Fathul Mu'in ma'a Hasyiyah I'anatuttholibin

(قوله: بأنها إلخ) 

الباء سببية متعلقة بتعذر، أي لو تعذر غسل ما تحت القلفة بسبب أنها لا تتقلص، أي لا تنكشف ولا تنفسخ إلا بجرح، يمم عما تحتها. أي وصلى عليه، وإن كان ما تحتها نجسا، للضرورة. وهذا ما قاله ابن حجر. وقال الرملي: إن كان ما تحتها طاهرا ييمم عنه، وإن كان نجسا فلا ييمم، ويدفن بلا صلاة عليه، لان شرط التيمم إزالة النجاسة، وينبغي تقليد الأول، لان في دفنه بلا صلاة عدم احترام الميت.

وعلى كل من القولين يحرم قطع قلفة الميت، وإن عصي بتأخيره. 

[ucapan pengarang: sebab sesungguhnya qulfah (kulit ujung dzakar) ...dst...] 

huruf ba' disini adalah ba' sababiyyah yang berta'alluq pada lafadz ta'addzaro, maksudnya yakni apabila sulit membasuh area di bawah qulfah (di bawah kulit ujung dzakar) disebabkan qulfah tersebut tidak mengerut maksudnya adalah bahwa qulfah tersebut tidak tersingkap dan tidak terbelah (robek) kecuali dengan melukainya maka mayyit tersebut ditayammumi atas area di bawah qulfah (maksudnya adalah tayammum tersebut sebagai penambal atas ketidaksempurnaan mandi disebabkan area di bawah qulfah yang tidak terbasuh), kemudian mayyit tersebut dishalati meskipun area di bawah qulfah (di bawah kulit ujung dzakar) tersebut najis karena termasuk dhoruroh (darurat). Ini adalah pendapat Imam Ibnu Hajar Al Haitami. Imam Ar Romli berkata: Apabila area di bawah qulfah (di bawah kulit ujung dzakar) itu suci maka mayyit tersebut ditayammumi atas area di bawah qulfah (maksudnya adalah tayammum tersebut sebagai penambal atas ketidaksempurnaan mandi disebabkan area di bawah qulfah yang tidak terbasuh), dan apabila area di bawah qulfah (di bawah kulit ujung dzakar) itu najis maka mayyit tersebut tidak ditayammumi, kemudian dimakamkan tanpa dishalati karena syarat (sahnya) tayammum adalah menghilangkan najis (tidak ada najis di tubuh). Sebaiknya taqlid (mengikuti) pendapat pertama (Imam Ibnu Hajar Al Haitami) karena memakamkan tanpa menshalati itu tidak memuliakan mayyit. Berdasarkan 2 (dua) pendapat ini, haram hukumnya mengkhitan (memotong) qulfah (kulit ujung dzakar) mayyit meski mayyit berdosa menunda khitan.


Wallahua'lam bisshowaab...

Minggu, 10 Desember 2023

Apa hukumnya wanita ikut mengantar / mengiring jenazah ke pemakaman?

 


[Jawab:]

Hukumnya makruh (tidak sampai haram) apabila dalam mengantar jenazah tidak ada hal² yang bermuatan haram. Jika ada maka haram hukumnya. Jika memang mau ikut maka posisi jalan wanita di belakang lelaki.


Catatan:

Sebaiknya wanita tidak perlu ikut. 

Contoh² yang membuat hukum makruh tersebut naik tingkat menjadi haram adalah misalnya wanita tidak menutup aurat saat mengiring, meratap yang berlebihan misal dengan suara kencang atau sambil menyakiti diri, pingsan, terguncangnya kejiwaan hingga tidak mau menerima takdir bahkan menyalahkan takdir, timbulnya fitnah laki² dan perempuan dsb.


Kitab Minhajul Qawim Syarh Muqoddimah Al Hadromiyah

ويكره اتباع النساء للجنازة إن لم يتضمن حراما وإلا حرم

Makruh hukumnya wanita ikut mengantar jenazah apabila dalam (proses) mengantar jenazah tersebut tidak mengandung (tidak bermuatan) hal² haram. Jika tidak demikian (maksudnya apabila dalam (proses) mengantar jenazah tersebut mengandung hal² haram) maka haram hukumnya wanita ikut mengantar jenazah.


Kitab Ghurorul Bahiyah Fii Syarh Al Bahjah Al Wardiyah

قال في الروض: وتشييع الجنازة سنة للرجال مكروه للنساء. فلو خالفن وشيعنها فهل المطلوب حينئذ مشيهن أمامها أو خلفها؟ فيه نظر، والظاهر أنه على الأول يتأخرن عن الرجال، ثم رأيت  الشارح ذكر كراهة تشييع النساء.

Imam Ibnu Muqri berkata dalam Kitab Raudh Tholib: mengiring jenazah itu hukumnya sunnah bagi laki² dan makruh bagi perempuan. Apabila perempuan melanggar dan ikut mengiring jenazah, maka apakah yang diperintahkan mereka berjalan di depan jenazah atau di belakang jenazah? pendapat yang dhohir, mereka berjalan di depan jenazah (tetapi) dibelakang laki² (diakhirkan dari laki²). Kemudian aku melihat pensyarah menuturkan akan makruhnya perempuan mengiring jenazah.


Wallahua'lam bisshowaab...

Kamis, 07 Desember 2023

NGAJI KITAB HASYIYAH AL BAJURI Seri Ke-3 : Usia 40 (empat puluh) tahun dianggap sudah matang karena memang masuk kategori "tua" sehingga di usia ini harus ngebut beramal sholih dan meninggalkan maksiat

 



(Maqra' teks ada di foto)

Lanjutan dari sebelumnya...


    Murid² pensyarah Kitab Fathul Qarib mengungkapkan lafadz qoola (قال) menggunakan fi'il madhi bukan fi'il mudhori' karena sesungguhnya ucapan Imam Ibnu Qasim Al Ghazzi (pensyarah kitab) benar² telah terjadi di masa lampau (jadi Kitab Fathul Qarib yang berisi sekian bab dan sekian pasal itu sudah dikarang di masa lalu oleh Imam Ibnu Qasim Al Ghazzi, baru kemudian murid²nya membuat dibajah yang diawali dengan lafadz qoola (قال) karena gurunya sudah mengucapkan dan menuliskan isi kitab sebelum dibajah). Dibajah ini menceritakan ucapan yang telah terjadi di masa lalu dari sebagian murid² Imam Ibnu Qasim Al Ghazzi.


      Yang diungkapkan Imam Al Barmawi yaitu lafadz qoola (قال) menggunakan fi'il madhi bukan fi'il mudhori' karena litahaqquqihi (konsep tahaqququl wuqu', yaitu menunjukan bahwasanya pasti akan terjadi di masa depan sehingga pakai fi'il madhi) sehingga seakan² bakal terjadi di masa depan adalah mardud (tertolak) karena secara haqiqat ucapan pensyarah memang sudah terjadi / sudah terucap (bukan di masa depan baru terjadi).


[Ucapan Murid Pensyarah (Murid Ibnu Qasim Al Ghazzi):]

"As Syaikhu (seorang syekh)" lafadz As Syaikh asalnya adalah mashdar dari fi'il شاخ (Syaakho). Diucapkan: Syaakho, yasyiikhu, Syaikhon. Kemudian lafadz tersebut disifati (dijadikan sifat) karena mubalaghoh (hiperbola / bermakna sangat). Sah juga apabila As Syaikh adalah sifat musyabbahah bismil fa'il (sifat yang diserupakan dengan isim fa'il).


       As Syaikhu secara lughot (bahasa) adalah orang yang telah mencapai usia 40 tahun karena manusia selagi masih di dalam perut ibunya maka disebut janin karena ia tersembunyi dan tertutup. Setelah lahir disebut bayi, anak cucu, anak kecil. Setelah baligh disebut pemuda, belia. Setelah berusia 30 tahun disebut kahlun (paruh baya). Setelah berusia 40 tahun, untuk laki² disebut Syaikhun (orang yang tua) dan untuk perempuan disebut syaikhotun (orang yang tua). As Syaikhu secara istilah adalah orang yang mencapai derjat ahli keutamaan ('alim, sholih dll) meskipun masih anak kecil. Lafadz As Syaikhu (isim mufrod) memiliki 11 (sebelas) jama': yang 5 (lima) diawali dengan huruf Syin (ش), yaitu Syuyuukhun (didhommah syinnya) dan Syiyuukhun (dikasrah syinnya), kemudian Syayakhotun (difathah ya'nya) dan Syaykhotun (disukun ya'nya), lalu Syiikhoonun seperti lafadz Ghilmaanun. Yang 5 (lima lainnya) diawali dengan huruf mim (م), yaitu Masyaayikhun (dengan menggunakan ya' bukan hamzah), kemudian Masyiikhotun (difathah mimnya) dan Misyiikhotun (dikasrah mimnya), kemudian Masyuukhoou (dengan menetapkan wawu setelah ya') dan  Masyiikhoou (dengan menghilangkan wawu). Yang 1 (satu) sisanya diawali dengan hamzah, yaitu Asyaakhun. 


       Semua lafadz jama' tersebut adalah Syadz (abnormal / aneh) kecuali 2 (dua) jama' saja, yang pertama adalah Syuyuukhun (شيوخ) sebagaimana yang dikehendaki oleh Imam Ibnu Malik dalam Kitab Alfiyahnya:

        Seperti lafadz fa'ilun (contohnya kabidun) yang dijamakkan mengikuti wazan fu'uulun (فعول) menjadi kubuudun, maka berlaku juga dalam isim yang berwazan fa'lun yang dimutlakkan fa' fi'ilnya (maksudnya dimutlakkan fa' fi'ilnya adalah bisa jadi fa'lun, fi'lun dan fu'lun) maka jamaknya juga mengikuti wazan fu'uulun (فعول) sehingga Syaikhun menjadi Syuyuukhun. Yang kedua (yang tidak syadz) adalah Asyaakhun (أشياخ) sebagaimana yang dikehendaki oleh Imam Ibnu Malik dalam Kitab Alfiyahnya:

      Isim Tsulatsi (mufrod) yang ketika jamaknya tidak mengikuti wazan af'ulun maka jamaknya mengikuti wazan af'aalun (أفعال). Lafadz Syaikhun tidak memiliki jamak Asyukhun maka jamaknya mengikuti wazan af'aalun menjadi Asyaakhun (أشياخ).


Wallahua'lam bisshowaab....

Bersambung ke Seri 4....


Catatan Penting untuk membantu pemahaman:

Contoh konsep tahaqquq wuqu' (suatu kejadian di masa depan yang pasti bakal terjadi nyata) adalah misal di ayat pertama Surat Al Waqi'ah: Idza Waqoatil Waqiah (apabila terjadi hari kiamat)..dst..... menggunakan fi'il madhi bukan mudhori' karena untuk tahaqquq wuqu' sesuatu yang belum terjadi tetapi bakal pasti terjadi kelak. Fi'ilnya justru menggunakan fi'il madhi (lampau). 


Hal ini tidak berlaku dalam dibajah di atas karena ucapan Imam Ibnu Qasim Al Ghazzi tentang syarah atas Matan Abi Syuja' benar² "telah terjadi" di masa lalu bukan "akan terjadi" oleh karenanya penggunaan fi'il madhi di atas bukan karena konsep tahaqquq wuqu' melainkan karena memang lampau secara haqiqotan.


Minggu, 03 Desember 2023

Apakah benar masa kesunnahan ta'ziyah itu 3 (tiga) hari? Bagaimana jika berta'ziyah di hari keempat, kelima, dst?

 


[Jawab:]

Hukumnya Ta'ziyah setelah lewat 3 (tiga) hari adalah Makruh, kecuali yang berta'ziyah atau yang dita'ziyahi berada di tempat yang jauh maka tidak makruh karena masa 3 (tiga) hari dihitung sejak orang yang berta'ziyah atau yang dita'ziyahi berada di tempat yang dekat.


Kitab Kifayatul Akhyar Fii Halli Ghoyatil Ikhtishar

والأولى أن تكون قبل الدفن لأنه وقت شدة الحزن وتكون في ثلاثة أيام لأن قوة الحزن لا تزيد عليها في الغالب وبعد الثلاثة مكروه لأنها تجدد الحزن وقد جعل رسول اللّه صلى الله عليه وسلم نهاية الحزن ثلاثا ففي الصحيحين: (لا يحل لإمرأة تؤمن باللّه واليوم الآخر أن تحد على الميت فوق ثلاث إلا على زوج أربعة أشهر وعشراً) وابتداء الثلاثة من الدفن جزم به النووي في شرح المهذب ونقله عن الأصحاب. نعم جزم المارودي أنها من الموت وبه جزم ابن الرفعة وصححه الخوارزي ويستثنى ما إذا كان المعزى أو المعزي غائباً فإنها تمتد إلى قدوم الغائب فإذا قدم هل تمتد ثلاثة أيام أم تختص بحالة الحضور؟ قال الإسنائي: كلام الرافعي والنووي يوهم مشروعية الثلاث عند قدوم الغائب وهو كذلك أم تختص بحالة الحضور قال المحب الطبري شيخ مكة: لم أر فيه نقلاً والظاهر مشروعية الثلاثة بعد الحضور واللّه أعلم. 

Yang lebih utama, ta'ziyah itu dilakukan sebelum dimakamkan (sebelum penguburan) karena saat itu merupakan saat duka yang mendalam dan ta'ziyah itu berlangsung dalam waktu 3 (tiga) hari karena pada umumnya, kuatnya kesedihan tidak melebihi di atas 3 (tiga) hari. Ta'ziyah setelah lewat 3 (tiga) hari hukumnya Makruh karena bisa memperbarui kesedihan (duka). Sungguh, Rasulullah SAW mengakhiri duka (kesedihan) selama 3 (tiga) hari. Dalam hadist riwayat Imam Bukhori dan Imam Muslim dikatakan: "Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk ber-ihdad (berkabung, menampakkan kesedihan, tidak berhias, tidak bersolek dll) atas kematian seseorang lebih dari 3 (tiga) hari, kecuali atas meninggalnya suaminya maka boleh ber-ihdad selama 4 bulan 10 hari". Masa 3 (tiga) hari dimulai sejak pemakaman. Hal ini ditetapkan oleh Imam Nawawi dalam Kitab Syarh Al Muhadzzab. Beliau menukilnya dari para Ashab (Ulama' pembesar Madzhab Syafi'i). Memang benar, Imam Al Mawardi menetapkan bahwa masa 3 (tiga) hari dimulai sejak kematian. Pendapat ini juga ditetapkan oleh Imam Ibnu Rif'ah dan dishohihkan oleh Imam Al Khowarizmi. Dikecualikan dari kemakruhan adalah apabila orang yang ta'ziyah atau orang yang dita'ziyahi itu ghoib (berada di tempat yang jauh) maka sesungguhnya ta'ziyah diperpanjang sampai datangnya yang ghoib tadi (baik yang ta'ziyah atau yang dita'ziyahi). Ketika orang yang ta'ziyah atau yang dita'ziyahi tadi sudah hadir (berada di tempat yang dekat), apakah ta'ziyah diperpanjang 3 (tiga) hari atau dibatasi hanya khusus di hari itu saja (tidak ada perpanjangan)? Imam Al Isnai berkata: pendapat Imam Rofi'i dan Imam Nawawi menggambarkan disyari'atkannya masa 3 (hari) ta'ziyah dihitung sejak hadir (sejak berada di tempat yang dekat). Apakah seperti itu ataukah sebatas pada hari itu saja? Imam Al Muhib At Thobari, Syekh Mekkah berkata: Aku tidak melihat riwayat tentangnya. Pendapat yang dhohir adalah disyari'atkan 3 (tiga) hari setelah hadir (setelah berada di tempat yang dekat). Wallahua'lam


Wallahua'lam bisshowaab...

Sabtu, 02 Desember 2023

Zaid sudah melakukan Shalat Jenazah untuk temannya yang wafat. Bolehkah dia melakukan shalat jenazah lagi untuk yang kedua kalinya? Bagaimana hukumnya?

 


[Jawab:]

  • Pendapat yang Mu'tamad menghukumi Khilaful Aula (menyelisih keutamaan, mirip dengan Makruh meski lebih ringan);
  • Pendapat yang kedua menghukumi Mubah (boleh)


Catatan:

Lebih baik tidak usah shalat lagi bagi orang yang sudah melaksanakannya.


Kitab Fathul Mu'in Ma'a Hasyiyah I'anatuttholibin

ولا يندب لمن صلاها ولو منفردا إعادتها مع جماعة فإن أعادها وقعت نفلا. وقال بعضهم: الإعادة خلاف الأولى.

Tidak disunnahkan bagi orang yang telah melaksanakan shalat jenazah (walaupun shalatnya sendirian) untuk mengulang shalat lagi (melakukan shalat jenazah lagi) secara berjamaah. Jika dia mengulanginya lagi maka statusnya adalah shalat sunnah. Sebagian Ulama' berkata: mengulang shalat jenazah (bagi yang sudah shalat) hukumnya adalah khilaful aula (menyelisihi keutamaan).


(قوله: ولا يندب الخ) 

قال ع ش: فتكون مباحة.اه.

(قوله: إعادتها مع جماعة)

 وبالأولى عدم ندب إعادتها منفردا.

وإنما لم تندب إعادتها لأن المعاد نفل، وهذه لا يتنفل بها، لعدم ورود ذلك شرعا. وقيل: تندب له الإعادة، كغيرها.

 (قوله: فإن أعادها وقعت نفلا)

 أي ووجب لها نية الفرضية.

قال في النهاية: وهذه خارجة عن القياس، إذ الصلاة لا تنعقد حيث لم تكن مطلوبة، ويوجه انعقادها بأن المقصود من الصلاة على الميت الشفاعة والدعاء، وقد لا تقبل الأولى وتقبل الثانية.اه.

(وقوله: وقال بعضهم الخ) 

مقابل لما يفهم من التعبير بعدم الندب، وهو الإباحة - كما مر آنفا عن ع ش - وصنيعه يقتضي أن قول بعضهم المذكور ضعيف. وعبارة شرح الروض تفهم أنه معتمد، ونصها: قال في المهمات: وفي التعبير بقوله ولا تستحب إعادتها: قصور، فإن الإعادة خلاف الأولى. ولا يلزم من نفي الاستحباب أولوية الترك، لجواز التساوي. ولهذا عبر في المجموع بقوله لا يستحب له الإعادة، بل يستحب له تركها.اه.

[Ucapan pengarang:] 

"Tidak disunnahkan....dst...." Imam Ali Syibromalisi berkata: mengulang shalat jenazah hukumnya mubah.


[Ucapan pengarang:] 

"mengulang shalat (jenazah) secara berjamaah" terlebih lagi tidak ada kesunnahan mengulangnya secara sendirian / munfarid. Tidak disunnahkan mengulangi shalat jenazah karena yang diulang itu statusnya sebagai shalat sunnah sementara shalat jenazah tidak disunnahkan untuk diulangi sebab tidak ada dalilnya dalam syari'at. Ada pendapat lemah yang mengatakan: Disunnahkan (bagi orang yang telah shalat jenazah) untuk mengulangi shalatnya lagi, seperti kesunnahan mengulang shalat pada shalat² lainnya.


[Ucapan pengarang:] 

"Apabila orang tersebut mengulang shalatnya lagi maka jatuhnya/statusnya adalah shalat sunnah" maksud redaksi ini adalah dia tetap harus berniat "fardhu/wajib" (tidak boleh berniat shalat sunnah jenazah meskipun jatuhnya sunnah). Imam Ar Romli berkata dalam Kitab An Nihayah: Mengulang shalat jenazah ini keluar dari qiyas karena shalat itu tidak dilaksanakan ketika tidak diperintahkan. Ulama' yang mesunnahkan atau yang membolehkan mengulang shalat jenazah beralasan karena tujuan dari shalat jenazah adalah sebagai syafa'at (pertolongan) serta do'a untuk si mayit sementara terkadang shalat yang pertama tidak diterima, sedangkan shalat yang kedua terkadang (justru) yang diterima.


[Ucapan pengarang:]

"Sebagian ulama' berkata: mengulang shalat jenazah bagi yang sudah melakukannya adalah khilaful aula (menyelisihi keutamaan)" ini sebagai pendapat muqobilnya (lawannya) 'ibarot yang difahami dari: tidak ada kesunnahan (mengulang shalat jenazah). pendapat muqobil (lawan) tersebut adalah Mubah (bukan khilaful aula) sebagaimana penjelasan yang telah lewat barusan, yaitu pendapatnya Imam Ali Syibromalisi. Pendapat beliau ini menunjukkan bahwa Qaulnya sebagian ulama' (yang menyatakan khilaful aula) adalah qaul dho'if (pendapat lemah). 'Ibarot dalam Kitab Syarh Ar Raudhah memberi kefahaman bahwa pendapat sebagian ulama' yang mengatakan khilaful aula (justru) pendapat yang mu'tamad (bukan pendapat lemah). Redaksinya begini: pengarang berkata dalam Kitab Al Muhimmat Fi Syarh Ar Raudhah Wa Ar Rofi'i: Dalam 'Ibarot yang menyatakan bahwa "tidak disunnahkan mengulangi shalat jenazah" terdapat pengurangan (peringkasan teks) karena sesungguhnya mengulang shalat jenazah (bagi yang sudah melakukan) hukumnya adalah khilaful aula. Redaksi "tidak disunnahkan" itu tidak harus bermakna "lebih baik (lebih utama) ditinggalkan" karena boleh juga bermakna "setara (boleh² saja dilakukan meski tidak disunnahkan)". Oleh karena hal inilah maka Imam Nawawi dalam Kitab Majmu'nya mengungkapkan dengan ucapannya (yang lebih jelas): "Tidak disunnahkan mengulangi shalat jenazah bagi yang sudah melaksanakannya, bahkan disunnahkan untuk meninggalkannya".


Wallahua'lam bisshowaab...

Jumat, 01 Desember 2023

NGAJI KITAB HASYIYAH AL BAJURI Seri Ke-2 : Ternyata membaca lafadz "Bismillahirrahmaanirrahiim" tidak selalu mendapatkan pahala, adakalanya malah berdosa. Kapan itu?

 


(Maqra' teks ada di foto)  

Lanjutan dari sebelumnya.......


      Akan tetapi orang yang membuat dibajah (kalimat pembuka), yaitu murid²nya Imam Ibnu Qasim Al Ghazzi mencukupkan diri dengan basmalahnya pensyarah (gurunya. Cukup "numpang" basmalahnya Fathul Qarib di awal kitab). Oleh karenanya, mereka mendahulukan basmalah pensyarah baru kemudian dibajahnya agar barokahnya basmalah kembali pada dibajah (maksudnya barokahnya basmalah mencakup/meluber juga pada dibajah).

    Ketahuilah, sesungguhnya membaca basmalah itu disunnahkan atas setiap perkara yang dinilai penting, maksudnya yaitu hal² yang sekira dianggap penting menurut syari'at karena riwayat hadist yang telah lalu (silahkan dicek di Seri Ke-1). Basmalah itu diharamkan atas setiap perkara yang haram secara dzatiyyahnya (secara dzatnya haram), seperti minum khamr. Basmalah itu dimakruhkan atas perkara yang makruh secara dzatiyyahnya (secara dzatnya makruh), seperti melihat farji' isterinya. Berbeda halnya jika perkara tersebut adalah perkara yang haram karena adanya sesuatu yang datang (bukan haram secara dzatnya, bukan dari aslinya haram), seperti wudhu dengan air ghasab / air curian (secara dzatnya, wudhu bukan perkara haram, tetapi karena wudhunya pakai air curian maka hukum wudhunya haram meskipun sah wudhunya. Jika saat hendak wudhu membaca basmalah, maka hukum membaca basmalah adalah sunnah). Berbeda pula jika perkara tersebut adalah perkara yang makruh karena adanya sesuatu yang datang (bukan makruh secara dzatnya, bukan dari aslinya makruh), seperti makan bawang, maka untuk 2 (dua) perkara ini tetap disunnahkan membaca basmalah. Membaca basmalah wajib di dalam shalat karena basmalah termasuk ayat dalam surat al fatihah menurut Madzhab kita (Syafi'iyyah). Maka ada 4 (empat) hukum mengenai basmalah (haram, wajib, sunnah, makruh) dan tersisalah hukum mubah (tidak ada hukum mubah). Ada pendapat yang mengatakan bahwa membaca basmalah hukumnya mubah untuk hal² mubah yang tidak ada unsur kemuliaan di dalamnya, seperti memindahkan barang dari satu tempat ke tempat yang lain. Maka menurut pendapat ini berlaku 5 (lima) hukum di dalam membaca basmalah (haram, wajib, sunnah, makruh dan mubah).


[Ucapan Murid Pensyarah (Murid Ibnu Qasim Al Ghazzi):] "Telah berkata:....dst....". Dibajah ini adalah dibajah yang diletakkan oleh sebagian murid²nya karena memuji gurunya. Di sebagian naskah, redaksi ini dibuang (gugur).

      Asal lafadz Qoola adalah Qo Wa La mengikuti wazan Fa 'a la dengan difathah 'ain fi'ilnya, dengan makna bahwa ucapan yang benar adalah seperti ini. Jika tidak diucapkan demikian, maka tidak benar karena orang arab tidak ada yang mengucapkan dengan lafadz tersebut (tidak ada orang arab mengucapkan Qo Wa La saat berbicara, yang ada adalah Qoola). Huruf Qof adalah Fa' kalimah (Fa' fiil), Huruf Wawu adalah 'Ain kalimah ('Ain fiil), dan Huruf Lam adalah Lam kalimah (Lam fiil), kemudian dikatakan kaidah: Wawunya berharakat dan harakat huruf sebelumnya fathah, maka wawunya diganti alif sehingga menjadi Qoola. Asal lafadz Qoola bukanlah Qo Wi La (wazan Fa 'i la dengan dikasrah 'ain fi'ilnya) karena jika demikian maka fi'il mudhori'nya adalah Ya Qoo Lu (bukan Ya Quu Lu) seperti lafadz (Khoofa - Ya Khoo Fu). Asal lafadz Qoola bukanlah Qo Wu La (wazan Fa 'u la dengan didhommah 'ain fi'ilnya) karena jika demikian maka fi'il tersebut adalah fi'il lazim (bukan fi'il muta'addi. padahal kenyataannya, lafadz Qo Wa La / Qoola adalah fi'il muta'addi). Asal lafadz Qoola bukanlah Qoula (wazan Fa'la dengan disukun 'ain fi'ilnya) karena jika demikian maka tidaklah menyebabkan berubahnya wawu menjadi alif karena wawu tersebut berharakat sukun (sehingga tidak sesuai kaidah di atas), selain juga wazan tersebut tidak termasuk wazan² fi'il.


Bersambung ke Seri-3......


Catatan Penting untuk membantu pemahaman: 

Memakan bawang dihukumi "makruh karena adanya sesuatu yang datang" adalah pendapat yang fasid (rusak). Pendapat yang benar adalah memakan bawang hukumnya makruh secara dzatiyyahnya (secara asalnya makruh);

Untuk paragraf terakhir adalah materi tentang Shorof dan I'lal. Silahkan dicek di Kitab² Shorof dan I'lal.


Kamis, 30 November 2023

NGAJI KITAB HASYIYAH AL BAJURI Seri Ke-1 : Awali aktivitasmu yang dinilai penting oleh syari'at dengan mengucap lafadz "Bismillahirrahmaanirrahiim"

 



(Maqra' teks ada di foto)


[Muqoddimah Penulis Kitab]


Bismillahirrahmaanirrahiim, dengan mengucap basmalah kami meminta pertolongan,


      Segala puji hanya milik Allah SWT yang telah memberi petunjuk kepada kita ke jalanNya yang lurus, dan telah memahamkan kita dalam agama yang lurus. Saya bersaksi bahwasanya tiada tuhan yang wujud & berhak disembah kecuali Allah yang Maha Esa, tiada sekutu yang wujud bagiNya, persaksian yang bisa menyampaikan kita ke surga² kenikmatan dan bisa menjadi sebab untuk melihat dzatNya yang Maha Mulia. Saya bersaksi bahwasanya tuan kita, nabi kita, Muhammad SAW adalah hambaNya dan utusanNya, yang menjadi pemimpin, menjadi penopang, dan yang agung.Semoga Allah memberi shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW, keluarga beliau, dan sahabat² beliau yang memiliki keutamaan yang besar.


    Setelah mengucap basmalah, hamdalah, shalawat dll, maka seorang hamba yang butuh kepada TuhanNya yang Maha Kuasa, yaitu  Ibrahim Al Bajuri, seorang yang punya cela (lalai) berkata: Sungguh Kitab Ibnu Qasim Al Ghazzi Syarah Matan Abi Syuja' telah banyak memberi manfaat dan banyak diambil manfaatnya, demikian juga dengan Kitab Hasyiyahnya, milik Al Allamah Imam Al Barmawi, beliau adalah orang yang memiliki setiap kebaikan. Akan tetapi Hasyiyah tersebut mengandung sebagian 'ibarot² (ungkapan²/teks) yang sulit, padahal yang pantas bagi para pemula adalah 'ibarot² (ungkapan²/teks) yang mudah. Oleh karena hal tersebut, banyak orang yang mendorongku waktu demi waktu, masa demi masa untuk menulis Hasyiyah atas Kitab Ibnu Qasim dengan makna yang mudah dan  redaksi (ucapan) yang gampang. Maka aku mengabulkan keinginan mereka untuk menulisnya. Allah mengetahui apa yang ada di sana. Aku mengabulkan karena meminta kepada Allah agar menjadikan kitab Hasyiyah (yang aku tulis) murni karena Allah yang Maha Mulia dan agar Allah bisa memberi manfaat yang luas dengan sebab kitab Hasyiyah ini. 


    Inilah saatnya untuk memulai tujuan (hal yang dimaksudkan) dengan pertolongan Raja yang disembah, Maka aku berucap: Wa billahi taufiq (semoga Allah memberikan taufiq) ke jalan yang paling baik.


[Ucapan Murid Pensyarah (Murid Ibnu Qasim Al Ghazzi):]

"Bismillahirrahmaanirrahiim", ini adalah basmalahnya pensyarah kitab, yaitu Imam Ibnu Qasim Al Ghazzi. Nanti akan datang basmalahnya pengarang kitab matan, yaitu Imam Abi Syuja'. Seyogyanya, bagi orang yang membuat dibajah (kalimat pembuka), yaitu murid²nya Imam Ibnu Qasim Al Ghazzi juga mendatangkan basmalah yang ketiga untuk dibajah ini (kalimat pembuka) karena sesungguhnya dibajah (kalimat pembuka) adalah perkara yang dinilai penting (oleh syariat). Sungguh telah bersabda Nabi Muhammad SAW: Setiap perkara yang dinilai penting (oleh syariat) yang tidak dimulai dengan bismillahirrahmaanirrahiim, maka perkara tersebut terputus, terpotong.


Wallahua'lam bisshowaabb....


Bersambung ke Seri Ke-2......


Catatan Penting untuk membantu pemahaman:

Dibajah (kalimat pembuka) adalah rangkaian kalimat yang dibuat oleh murid²nya Imam Ibnu Qasim Al Ghazzi (pensyarah) di bagian awal Kitab Fathul Qarib. Kalimat tersebut adalah lafadz: "Telah berkata Syekh, Al Imam, Al Alim, Al Allamah, Syamsuddin, Abu Abdillah Muhammad bin Qasim As Syafi'i, .......dst...... Aamiin." Silahkan dilihat di Kitab Fathul Qarib di bagian paling atas, di bawahnya lafadz basmalah Kitab Fathul Qarib (Muqoddimah). Menurut Imam Al Bajuri, seyogyanya murid²nya Imam Ibnu Qasim Al Ghazzi menuliskan basmalah khusus untuk dibajah tersebut, di bawah basmalahnya Kitab Fathul Qarib, karena dibajah (kalimat pembuka) adalah perkara yang dinilai penting (oleh syariat). Jadi total basmalah seharusnya ada 3 (tiga), yaitu basmalahnya Kitab Taqrib, basmalahnya Kitab Fathul Qarib dan basmalahnya dibajah.


Senin, 27 November 2023

Di sebagian kampung, warga menuliskan kutipan teks Al Qur'an dan lafadz Laa ilaaha illallah dan ikut menguburkannya ke dalam kain kafan mayit agar mayit terbebas dari siksa kubur berdasarkan riwayat Imam At Tirmidzi. Bagaimana hukumnya?


 

[Jawab:]

Diperinci:

  • Jika ditulis pada kain kafan atau ditulis di atas kertas tanpa pelindung apapun kemudian dimasukkan di antara dada mayit dan kafan maka HARAM karena terkena najis berupa nanah, darah dll;
  • Jika ditulis di atas kertas dan kertas tersebut dimasukkan pada sebuah tempat (misal botol) yang bahannya kuat setingkat kuatnya bahan tembaga kemudian dimasukkan di antara dada mayit dan kafan maka DIPERBOLEHKAN.


Catatan: Hadist riwayat Imam At Tirmidzi tersebut adalah hadist dhaif dan tidak bisa dijadikan pegangan (tidak mu'tamad) meski boleh juga diamalkan dengan syarat di atas.


Kitab Al Fatawa Al Fiqhiyyah Al Kubro

(سُئِلْت)

 فِي التِّرْمِذِيِّ أَنَّهُ - صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - قَالَ مَنْ كَتَبَ هَذَا الدُّعَاءَ وَجَعَلَهُ بَيْنَ صَدْرِ الْمَيِّتِ وَكَفَنِهِ فِي رُقْعَةٍ لَمْ يَنَلْهُ عَذَابُ الْقَبْرِ وَلَا يَرَى مُنْكَرًا وَنَكِيرًا وَهُوَ هَذَا لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إلَّا بِاَللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ قَالَ بَعْضُهُمْ وَمِثْلُ ذَلِكَ مَا يُكْتَبُ مِنْ التَّسْبِيحِ الَّذِي قِيلَ فِيهِ إنَّهُ مَشْهُورُ الْفَضْلِ وَالْبَرَكَةِ مَنْ كَتَبَهُ وَجَعَلَهُ بَيْنَ صَدْرِ الْمَيِّتِ وَكَفَنِهِ لَا يَنَالُهُ عَذَابُ الْقَبْرِ وَلَا يَنَالُهُ مُنْكَرٌ وَنَكِيرٌ وَلَهُ شَرْحٌ عَظِيمٌ وَهُوَ دُعَاءُ الْأُنْسِ سُبْحَانَ مَنْ هُوَ بِالْجَلَالِ مُوَحَّدٌ وَبِالتَّوْحِيدِ مَعْرُوفٌ وَبِالْمَعَارِفِ مَوْصُوفٌ وَبِالصِّفَةِ عَلَى لِسَانِ كُلِّ قَائِلٍ رَبٌّ بِالرُّبُوبِيَّةِ لِلْعَالَمِ قَاهِرٌ وَبِالْقَهْرِ لِلْعَالَمِ جَبَّارٌ وَبِالْجَبَرُوتِ عَلِيمٌ حَلِيمٌ وَبِالْحِلْمِ وَالْعِلْمِ رَءُوفٌ رَحِيمٌ سُبْحَانَهُ كَمَا يَقُولُونَ وَسُبْحَانَهُ كَمَا هُمْ يَقُولُونَ تَسْبِيحًا تَخْشَعُ لَهُ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ عَلَيْهِمَا وَيَحْمَدُنِي مَنْ حَوْلَ عَرْشِي اسْمِي اللَّهُ وَأَنَا أَسْرَعُ الْحَاسِبِينَ. وقَالَ ابْنُ عُجَيْلٍ إذَا كُتِبَ هَذَا الدُّعَاءُ وَجُعِلَ مَعَ الْمَيِّتِ فِي قَبْرِهِ وَقَاهُ اللَّهُ فِتْنَةَ الْقَبْرِ وَعَذَابَهُ وَهُوَ هَذَا اللَّهُمَّ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ عَالَمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ إنِّي أَعْهَدُ إلَيْك فِي هَذِهِ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا إنِّي أَشْهَدُ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا أَنْتَ وَحْدَك لَا شَرِيكَ لَك وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُكَ وَرَسُولُكَ وَأَنَّك إنْ تَكِلْنِي إلَى نَفْسِي تُقَرِّبْنِي مِنْ الشَّرِّ وَتُبَاعِدْنِي مِنْ الْخَيْرِ وَإِنِّي لَا أَثِقُ إلَّا بِرَحْمَتِك فَاجْعَلْهُ لِي عِنْدَك عَهْدًا تُؤْتِنِيهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إنَّك لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ وَقَالَ أَيْضًا منْ كَتَبَ هَذَا الدُّعَاءَ فِي كَفَنِ الْمَيِّتِ رَفَعَ اللَّهُ عَنْهُ الْعَذَابَ إلَى يَوْمِ يُنْفَخُ فِي الصُّورِ وَهُوَ هَذَا اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُك يَا عَالَمَ السِّرِّ يَا عَظِيمَ الْخَطَرِ يَا خَالِقَ الْبَشَرِ يَا مُوقِعَ الظَّفَرِ يَا مَعْرُوفَ الْأَثَرِ يَا ذَا الطَّوْلِ وَالْمَنِّ يَا كَاشِفَ الضُّرِّ وَالْمِحَنِ يَا إلَهَ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ فَرِّجْ عَنِّي هُمُومِي وَاكْشِفْ عَنِّي غُمُومِي وَصَلِّ اللَّهُمَّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ اهـ مَا قَالَهُ ابْنُ عُجَيْلٍ فَهَلْ مَا نَقَلَهُ صَحِيحٌ مُعْتَمَدٌ وَهَلْ يُفَرَّقُ بَيْنَ أَنْ يُكْتَبَ وَيُحْفَظَ عَنْ الصَّدِيدِ وَأَنْ لَا يُحْفَظَ عَنْهُ.

Aku ditanya tentang hadist riwayat Imam At Tirmidzi bahwasanya Rasulullah SAW bersabda: Barangsiapa menulis do'a ini di atas kertas dan meletakkannya di antara dada mayit dan kain kafannya,  maka niscaya si mayit tidak mendapat siksa kubur dan tidak melihat malaikat Munkar & Nakir. Do'anya adalah ini:

لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَاَللَّهُ أَكْبَرُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوَّةَ إلَّا بِاَللَّهِ الْعَلِيِّ الْعَظِيمِ

Sebagian dari mereka berkata: Sama seperti do'a tersebut adalah tasbih yang ditulis di atas kertas dimana menurut sebuah pendapat dikatakan bahwa tasbih ini adalah do'a keutamaan dan keberkahan yang telah masyhur. Barangsiapa menulis tasbih ini dan meletakkannya di antara dada mayit dan kain kafannya,  maka niscaya si mayit tidak mendapat siksa kubur dan tidak ditanyai malaikat Munkar & Nakir. Tasbih tersebut memiliki syarah yang agung. Ia adalah do'a manusia. Teksnya adalah ini:

سُبْحَانَ مَنْ هُوَ بِالْجَلَالِ مُوَحَّدٌ وَبِالتَّوْحِيدِ مَعْرُوفٌ وَبِالْمَعَارِفِ مَوْصُوفٌ وَبِالصِّفَةِ عَلَى لِسَانِ كُلِّ قَائِلٍ رَبٌّ بِالرُّبُوبِيَّةِ لِلْعَالَمِ قَاهِرٌ وَبِالْقَهْرِ لِلْعَالَمِ جَبَّارٌ وَبِالْجَبَرُوتِ عَلِيمٌ حَلِيمٌ وَبِالْحِلْمِ وَالْعِلْمِ رَءُوفٌ رَحِيمٌ سُبْحَانَهُ كَمَا يَقُولُونَ وَسُبْحَانَهُ كَمَا هُمْ يَقُولُونَ تَسْبِيحًا تَخْشَعُ لَهُ السَّمَوَاتُ وَالْأَرْضُ وَمَنْ عَلَيْهِمَا وَيَحْمَدُنِي مَنْ حَوْلَ عَرْشِي اسْمِي اللَّهُ وَأَنَا أَسْرَعُ الْحَاسِبِينَ.

Ibnu 'Ujail berkata: Jika do'a ini ditulis dan diletakkan bersama mayit di dalam kuburnya, maka Allah SWT akan melindunginya dari fitnah dan siksa kubur. Do'anya adalah ini:

اللَّهُمَّ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ عَالَمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ إنِّي أَعْهَدُ إلَيْك فِي هَذِهِ الْحَيَاةِ الدُّنْيَا إنِّي أَشْهَدُ أَنْ لَا إلَهَ إلَّا أَنْتَ وَحْدَك لَا شَرِيكَ لَك وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُكَ وَرَسُولُكَ وَأَنَّك إنْ تَكِلْنِي إلَى نَفْسِي تُقَرِّبْنِي مِنْ الشَّرِّ وَتُبَاعِدْنِي مِنْ الْخَيْرِ وَإِنِّي لَا أَثِقُ إلَّا بِرَحْمَتِك فَاجْعَلْهُ لِي عِنْدَك عَهْدًا تُؤْتِنِيهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إنَّك لَا تُخْلِفُ الْمِيعَادَ 

Beliau juga berkata: Barangsiapa yang menulis do'a ini di dalam kafannya mayit maka Allah akan mengangkat siksa kubur darinya sampai dengan hari ditiupnya sangkakala. Do'anya adalah ini:

اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُك يَا عَالَمَ السِّرِّ يَا عَظِيمَ الْخَطَرِ يَا خَالِقَ الْبَشَرِ يَا مُوقِعَ الظَّفَرِ يَا مَعْرُوفَ الْأَثَرِ يَا ذَا الطَّوْلِ وَالْمَنِّ يَا كَاشِفَ الضُّرِّ وَالْمِحَنِ يَا إلَهَ الْأَوَّلِينَ وَالْآخِرِينَ فَرِّجْ عَنِّي هُمُومِي وَاكْشِفْ عَنِّي غُمُومِي وَصَلِّ اللَّهُمَّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَسَلِّمْ اهـ


Apakah riwayat yang dinukil tersebut shohih dan bisa dijadikan pegangan? Apakah ada bedanya antara do'a ini ditulis kemudian dijaga dari nanah dengan do'a ini ditulis tapi tidak dijaga dari nanah?


(فَأَجَبْت

بِقَوْلِي لَيْسَ ذَلِكَ بِصَحِيحٍ وَلَا مُعْتَمَدٍ فَقَدْ أَفْتَى الْإِمَامُ ابْنُ الصَّلَاحِ بِأَنَّهُ لَا يَجُوزُ كِتَابَةُ شَيْءٍ مِنْ الْقُرْآنِ عَلَى الْكَفَنِ صِيَانَةً لَهُ عَنْ صَدِيدِ الْمَوْتَى وَمِثْلُ ذَلِكَ الْكِتَابُ الَّذِي يُسَمُّونَهُ كِتَابَ الْعُهْدَةِ يَنْبَغِي أَنْ لَا يَجُوزَ وَأَقَرَّ ابْنُ الصَّلَاحِ عَلَى ذَلِكَ الْأَئِمَّةُ بَعْدَهُ وَهُوَ ظَاهِرُ الْمَعْنَى جِدًّا فَإِنَّ الْقُرْآنَ وَكُلَّ اسْمٍ مُعَظَّمٍ كَاسْمِ اللَّهِ أَوْ اسْمِ نَبِيٍّ لَهُ يَجِبُ احْتِرَامُهُ وَتَوْقِيرُهُ وَتَعْظِيمُهُ وَلَا شَكَّ أَنَّ كِتَابَتَهُ وَجَعْلَهُ فِي كَفَنِ الْمَيِّتِ فِيهِ غَايَةُ الْإِهَانَةِ لَهُ إذْ لَا إهَانَةَ كَالْإِهَانَةِ بِالتَّنْجِيسِ وَنَحْنُ نَعْلَمُ بِالضَّرُورَةِ أَنَّ مَا فِي كَفَنِ الْمَيِّتِ لَا بُدَّ وَأَنْ يُصِيبَهُ بَعْضُ دَمِهِ أَوْ صَدِيدِهِ أَوْ غَيْرِهِمَا مِنْ الْأَعْيَانِ النَّجِسَةِ الَّتِي بِجَوْفِهِ فَكَانَ تَحْرِيمُ وَضْعِ مَا كُتِبَ فِيهِ اسْمٌ مُعَظَّمٌ فِي كَفَنِ الْمَيِّتِ مِمَّا لَا يَنْبَغِي التَّوَقُّفُ فِيهِ. وأَمَّا مَا فِي التِّرْمِذِيِّ فَيَتَوَقَّفُ الِاحْتِجَاجُ بِهِ عَلَى صِحَّةِ سَنَدِهِ بَلْ لَوْ فُرِضَ صِحَّةُ سَنَدِهِ لَمْ يُعْمَلْ بِهِ لِأَنَّ الْأَئِمَّةَ نَصُّوا عَلَى خِلَافِ مُقْتَضَاهُ فَيَكُونُ إعْرَاضُهُمْ عَنْهُ إنَّمَا هُوَ لِعِلَّةٍ فِيهِ كَيْفَ وَهُوَ مُخَالِفٌ لِهَذِهِ الْقَاعِدَةِ الْمَعْلُومَةِ الَّتِي لَا نِزَاعَ فِيهَا وَهِيَ أَنَّ تَنْجِيسَ اسْمِ اللَّهِ وَنَحْوِهِ فِيهِ إهَانَةٌ لَهُ وَإِهَانَتُهُ مُحَرَّمَةٌ فَيَكُونُ السَّبَبُ إلَى ذَلِكَ مُحَرَّمًا نَعَمْ إنْ فُرِضَ أَنَّ ذَلِكَ الْمَكْتُوبَ جُعِلَ فِي مَحِلٍّ مِنْ الْقَبْرِ بِحَيْثُ أُمِنَ عَلَيْهِ يَقِينًا أَنَّهُ لَا يُصِيبُهُ شَيْءٌ مِنْ الصَّدِيدِ وَنَحْوِهِ لَمْ يَبْعُدْ الْقَوْلُ بِالْجَوَازِ حِينَئِذٍ لِانْتِفَاءِ عِلَّةِ التَّحْرِيمِ السَّابِقَةِ عَلَى أَنَّهُ حِينَئِذٍ لَا يُجْدِي شَيْئًا لِأَنَّ الشَّرْطَ كَمَا ذُكِرَ عَنْ التِّرْمِذِيِّ وَغَيْرِهِ أَنْ يُوضَعَ فِي كَفَنِ الْمَيِّتِ فَوَضْعُهُ خَارِجَ الْكَفَنِ لَا يُفِيدُ شَيْئًا فَالْحَاصِلُ أَنَّهُ إنْ وُضِعَ فِي الْكَفَنِ كَانَ فِيهِ تَسَبُّبٌ إلَى تَنْجِيسِ اسْمِ اللَّهِ تَعَالَى وَقَدْ تَقَرَّرَ وَبَانَ وَظَهَرَ حُرْمَةُ ذَلِكَ وَإِنْ وُضِعَ خَارِجَ الْكَفَنِ لَمْ يُفِدْ شَيْئًا لِأَنَّ ذَلِكَ الثَّوَابَ الَّذِي قِيلَ فِيهِ مَشْرُوطٌ بِوَضْعِهِ فِي الْكَفَنِ فَالصَّوَابُ عَدَمُ كِتَابَةِ ذَلِكَ وَعَدَمُ وَضْعِهِ فِي الْقَبْرِ مُطْلَقًا وَاَللَّهُ سُبْحَانَهُ وَتَعَالَى أَعْلَمُ بِالصَّوَابِ.

Maka aku jawab dengan ucapanku: Riwayat tersebut tidaklah shohih dan tidak pula bisa dijadikan pegangan. Sungguh, Imam Ibnu Sholah telah berfatwa bahwa tidak boleh menulis ayat Al Qur'an sedikitpun di atas kafan karena untuk menjaganya (melindunginya) dari nanahnya mayit. Sama seperti tulisan Al Qur'an adalah tulisan yang diberi nama Kitab Al 'Uhdah sudah seharusnya tidak diperbolehkan. Para Imam setelah Ibnu Sholah membenarkan hal itu. Fatwa ini sangatlah jelas maknanya karena sesungguhnya Al Qur'an dan nama-nama yang diagungkan seperti nama Allah, nama nabiNya wajib dimuliakan, dihormati dan diagungkan. Tidak ada keraguan bahwa menulis do'a tersebut dan meletakkannya di dalam kafan mayit adalah puncak penghinaan terhadapnya karena tidak ada penghinaan yang tingkatannya sama seperti menghinakan dengan cara menajiskannya (membuat tulisan tersebut terkena najis). Kita semua tahu secara pasti (semua kalangan tahu baik awam maupun 'alim) bahwa segala hal yang ada di dalam kafan pasti terkena sebagian darah mayit, nanahnya ataupun najis-najis lain yang berasal dari perut mayit. Maka pengharaman meletakkan segala sesuatu yang tertulis nama-nama yang diagungkan di dalam kafan mayit sudah seharusnya tidak boleh diragukan lagi. Adapun riwayat Imam At Tirmidzi, maka penggunaannya sebagai dalil tergantung pada kesahihan mata rantainya (sanadnya), sebaliknya jika pun kita asumsikan sanadnya shohih, maka tidak boleh diamalkan karena para imam telah menegaskan pertentangannya. Para Imam menolak terhadapnya disebabkan oleh adanya cacat di dalamnya, dan hal itu merupakan pelanggaran terhadap kaidah yang sudah ma'lum diketahui dan tidak ada perselisihan akan hal itu. Kaidah tersebut adalah sesungguhnya menajiskan nama Allah dan yang semisalnya adalah penghinaan terhadapnya. Menghinakan nama Allah adalah hal yang diharamkan sehingga setiap perkara yang bisa mengantarkan pada peghinaan maka juga diharamkan. Memang benar, jika tulisan tersebut diletakkan di area yang sekiranya area tersebut secara yakin aman tidak terkena nanah sedikitpun (dan najis lainnya) maka qaul yang menyatakan akan kebolehannya tidaklah jauh dari kebenaran karena hilangnya 'illat pengharaman yang dijelaskan sebelumnya. Hanya saja tidak ada faidah sedikitpun karena disyaratkan sebagaimana dalam riwayat At Tirmidzi adalah diletakkan di dalam kafan mayit. Jika diletakkan di luar kafan maka tidak berfaidah sedikitpun. Maka kesimpulannya adalah apabila diletakkan di dalam kafan mayit maka bisa menjadi sebab (mengantarkan) pada menajiskan nama Allah dan sangat jelas sekali keharamannya. Apabila diletakkan di luar kafan maka tidak memberi faidah sedikitpun karena pahala yang dijelaskan dalam riwayat tersebut harus diletakkan di dalam kafan. Maka yang benar adalah tidak usah menulis do'a tersebut dan tidak perlu meletakkan di dalam kubur secara mutlak. Wallahua'lam bisshowab.


Kitab Hasyiyah Al Jamal

من كتبه وجعله في حرز من النجاسة كقصبة أو نحاس ووضعه بين صدر الميت وكفنه أمن من فتنة القبر ولم ير من الملكين المكرمين فزعا.

Barang siapa menulis doa tersebut dan meletakkannya pada tempat yang bisa melindunginya dari najis, seperti tabung yang kuat atau botol tembaga, kemudian diletakkan diantara dada mayit dan kain kafannya maka dia akan aman dari fitnah kubur dan tidak akan melihat Munkar Nakir dengan ketakutan.


Kitab As Syarqowi

وما ذكره الأذرعي من حرمة كتابة القرآن على القبر لتعرضه للدوس والنجاسة والتلويث بصديد الموتى بتكرر السنين مردود بإطلاقهم لا سيما والمحذور غير محقق

...dst.....Pengqiyasan terhadap apa yang disebutkan Imam Al-Adzra'i tentang keharaman menulis Al-Qur'an pada kubur karena terkena injak, najis, dan tercemar oleh nanahnya orang mati selama bertahun-tahun adalah tertolak dengan ulama' yang memutlakkan (kemakruhan menulis nama pada nisan), apalagi yang dilarang itu tidak terbukti kebenarannya.



Wallahua'lam bisshowaab....


Rabu, 22 November 2023

Bagaimana hukumnya memberi air minum pada orang yang sakaratul maut? Apakah setan datang menggoda orang yang sakaratul maut?

 


[Jawab:]


  • Hukumnya Sunnah, bahkan Wajib apabila orang yang sakaratul maut tersebut ada indikasi butuh minum, seperti senang/gembira jika diberi minum;
  • Ada nukilan ulama' yang menyatakan bahwa setan datang kepada orang sakaratul maut untuk menjerumuskannya agar keluar dari iman.


Kitab Hasyiyah Al Bujairimi 'ala Al Manhaj

ويجرع الماء ندبا بل وجوبا فيما يظهر إن ظهرت أمارة تدل على احتياجه له كأن يهش إذا فعل به وقد قيل إن الشيطان يأتيه بماء ويقول له قل لا إله إلا أنا حتى أسقيك فإن قال ذلك مات على غير إيمان. اه‍ حج

Disunnahkan untuk menegukkan (memberi) air minum kepada orang yang sakaratul maut, dan bahkan diwajibkan menurut pendapat yang dhohir apabila ada tanda-tanda yang menunjukkan bahwa orang yang sakaratul maut tersebut butuh minum, seperti misalnya dia merasa senang (gembira) jika diberi air minum. Ada pendapat: Dikatakan bahwa Setan membawakan air kepada orang yang sakaratul maut dan setan berkata kepadanya, “Katakanlah tidak ada Tuhan selain Aku, sehingga Aku akan memberimu minum.” Jika orang yang sakaratul maut (mengikuti permintaan setan dan) berkata demikian, maka dia mati tanpa iman (murtad).


Wallahua'lam bisshowaabb.....

Selasa, 21 November 2023

Saat tidak bisa hadir secara langsung untuk Ta'ziyah, sering kali dengan cara mengirimkan Karangan Bunga. Apakah Karangan Bunga sudah mencukupi sebagai ta'ziyah dan mendapat pahala?

 


[Jawab:]


  • Sudah mencukupi sebagai ta'ziyah dan mendapat pahala;
  • Karena karangan bunga dalam konteks duka (belangsungkawa) sudah memuat nuansa salah satu dari definisi ta'ziyah secara syariat dan sudah ma'ruf (dikenal) di kalangan masyarakat;
  • Meskipun begitu, tetap saja yang paling bagus adalah ta'ziyah dengan hadir secara langsung.


Kitab Hasyiyah Qalyubi Wa Umiroh

وتحصل التعزية بكتاب أو رسالة أو نحو ذلك

Diperoleh (pahala) ta’ziyah dengan tulisan, surat, dan semisalnya


Kitab Tuhfatul Habib 'ala Syarh Al Khotib

التعزية لغة التسلية وشرعا الأمر بالصبر والحمل عليه بوعد الأجر والتحذير من الوزر بالجزع والدعاء للميت بالمغفرة وللمصاب بجبر المصيبة

Ta’ziyah secara bahasa berati menghibur. Adapun menurut syara’, ta'ziyah adalah menyuruh (orang yang ditimpa musibah) bersabar dan mendorongnya untuk selalu bersabar dengan janji pahala dan memberi peringatan dari dosa akan orang yang berputus asa, serta mendoakan mayit agar mendapat ampunan dan mendoakan orang yang ditimpa musibah agar mendapatkan gantinya (terhibur).


Kitab Hasyiyah Al Jamal

( قوله أيضا وهي الأمر بالصبر إلخ ) 

ظاهره أن التعزية إنما تتحقق بمجموع ما يأتي والظاهر أنه غير مراد فليراجع .اه‍ .رشيدي

[Ucapan muallif: menyuruh (orang yang ditimpa musibah) bersabar...dst....] secara dhohir (sekilas) sesungguhnya ta'ziyah hanya bisa terealisasi (terwujud) dengan terkumpulnya semua perkara yang disebutkan, namun pendapat yang dhohir menyatakan bahwa bukan itu yang dimaksud. Maka hendaknya dikaji ulang. 


Wallahua'lam bisshowaabb....

Sabtu, 18 November 2023

Bolehkah membawa jenazah menuju ke kuburan dengan memakai ambulan (bukan dengan keranda yang digotong di atas bahu)?

 


[Jawab:]


  • Hukumnya Makruh sebab:

  1. menghilangkan fadhilah (keutamaan) menggotong mayit dengan 2 (dua) palang keranda di atas pundak;
  2. menjadikan mayit serupa dengan perkakas, harta benda atau barang-barang yang dibawa dengan sebuah alat sehingga dianggap menghilangkan kemuliaan mayit.

  • Hukum Makruh tersebut berubah menjadi Mubah (Boleh) apabila jaraknya jauh dan mendapat kesulitan yang besar.


Kitab Bulghotutthullab

(مسألة ك) حمل الميت المسلم على العروبة المعروفة الآن التي يجرها الحصان أو الإنسان جائز لكنه خلاف الأولى لأنه يزيل فضيلة الحمل بين العمودين قلت هذا إذا لم يكن الحمل المذكور  مزريا للميت أما إذا كان على هيئة مزرية فإنه غير جائز قال في تنوير القلوب الرابع حمله فأقله يحمل على هيئة غير مزرية وفي النهاية وأما الصغير فإن حمله واحد جاز لعدم الإزراء فيه ومفهومه أن الإزراء في الحمل غير جائز.

[Masalah Kaf] Mengangkut mayit muslim dengan kereta yang telah dikenal di masa sekarang yang ditarik oleh kuda atau manusia hukumnya boleh akan tetapi khilaful aula (menyelisihi keutamaan) karena hal tersebut menghilangkan fadhilah (keutamaan) menggotong mayit dengan 2 (dua) palang keranda di atas pundak. Aku berkata: Hukum ini berlaku apabila membawa mayit dengan cara tersebut tidak sampai menghinakan mayit. Jika membawa dengan cara tersebut bisa menghinakan mayit maka tidak boleh (haram). Dalam Kitab Tanwirul Qulub dikatakan: Yang keempat, adalah membawa mayit. Paling minimalnya adalah membawa dengan cara (metode) yang tidak sampai menghinakan mayit. Dalam Kitab Nihayah disebutkan: Adapun mayit anak kecil jika digendong oleh satu orang maka hukumnya boleh karena tidak ada unsur penghinaan di dalamnya. Dari hal tersebut dapat difahami bahwa sesungguhnya izra' (penghinaan) ketika membawa mayit adalah tidak diperkenankan.


Kitab Fatawa Al Azhar

حمل الميت على أعناق الرجال هو المتعارف بين المسلمين من الصدر الأول إلى اليوم، ‏أما حمله على دابة أو غيرها من ‏أدوات الحمل فمكروه؛ لأن فيه ‏تشبيهًا للأموات بالأمتعة وهو مناف ‏لإكرامهم.....-..... إن كان ‏البعد شاسعًا، والمشقة عظيمة؛ بين مكان الوفاة و مكان الدفن فإنه في هذه الحالة يسوغ حمل الميت على أداة من أدوات ‏الحمل لذلك العذر.

Cara membawa mayit adalah dengan digotong di atas batang leher (pundak) orang-orang sebagaimana yang lazim dikenal di kalangan kaum muslimin dari masa awal hingga hari ini. Adapun membawa mayit dengan tunggangan (kendaraan) atau alat-alat pengangkut lainnya maka hukumnya makruh karena di dalamnya ada penyerupaan mayit dengan perkakas (barang-barang, harta benda). Hal ini dianggap menghilangkan kemuliaan mayit...dst.... Apabila jaraknya jauh dan ada kesulitan yang besar antara tempat wafat dan makam maka dalam hal ini diperbolehkan membawa mayit dengan suatu alat pengangkut karena adanya udzur tersebut.


Wallahua'lam bisshowaabb.....


Rabu, 15 November 2023

Saat ziarah kubur, selain menaburkan bunga, seringkali orang-orang menyirami kuburan dengan air. Bagaimana hukumnya?

 


[Jawab:]

Hukumnya sunnah


Kitab Nihayatuzzain

وَيُنْدَبُ رَشُّ الْقَبْرِ بِمَاءٍ باَرِدٍ تَفاَؤُلاً بِبُرُوْدَةِ الْمَضْجَعِ وَلاَ بَأْسَ بِقَلِيْلٍ مِنْ مَّاءِ الْوَرْدِ ِلأَنَّ الْمَلاَ ئِكَةَ تُحِبُّ الرَّائِحَةَ الطِّيْب

Disunnahkan menyirami kuburan dengan air yang dingin karena tafa'ul (mengharapkan) agar tempat tidurnya mayit (kuburan) dingin. Tidak apa-apa menyiram kuburan dengan sedikit air mawar karena malaikat senang pada aroma yang harum.


Wallahu'alam bisshowaab....


Minggu, 12 November 2023

Apa hukumnya menabur bunga di atas kuburan?



[Jawab:]

  • Hukumnya sunnah selama bunga tersebut belum kering 


Kitab Fathul Mu'in ma'a Hasyiyah I'anatuttholibin

(مهمة) 

يسن وضع جريدة خضراء على القبر للاتباع ولأنه يخفف عنه ببركة تسبيحها وقيس بها ما اعتيد من طرح نحو الريحان الرطب

[Hal penting]: disunnahkan meletakkan pelepah yang masih hijau (basah) di atas kubur karena mengikuti sunnah nabi dan karena dapat meringankan adzab mayyit sebab barokah tasbih pelepah tersebut. Diqiyaskan dengan pelepah adalah segala hal yang ditaburkan yang sudah menjadi kebiasaan di masyarakat misalnya bunga harum yang basah.

(قوله: للاتباع) 

هو ما رواه ابن حبان عن أبي هريرة - رضي الله عنه - قال: كنا نمشي مع رسول الله - صلى الله عليه وسلم - فمررنا على قبرين، فقام، فقمنا معه، فجعل لونه يتغير حتى رعد كم قميصه، فقلنا: مالك يا رسول الله؟ فقال: أما تسمعون ما أسمع؟ فقلنا: وما ذاك يا نبي الله؟ قال: هذان رجلان يعذبان في قبورهما عذابا شديدا في ذنب هين - أي في ظنهما، أو هين عليهما اجتنابه - قلنا: فبم ذاك؟ قال: كان أحدهما لا يتنزه من البول، وكان الآخر يؤذي الناس بلسانه، ويمشي بينهم بالنميمة.فدعا بجريدتين - من جرائد النخل - فجعل في كل قبر واحدة. قلنا يا رسول الله: وهل ينفعهم ذلك؟ قال: نعم يخفف عنهما ما دامتا رطبتين.

Ucapan pengarang: [karena mengikuti sunnah nabi] yaitu hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dari Abu Hurarirah R.A, beliau berkata,"Kami pernah berjalan bersama Rasulullah SAW, lalu kami melewati 2 (dua) kubur. Rasul berhenti, kami pun berhenti bersama beliau. Wajah beliau berubah hingga lengan jubahnya bergetar. Kami berkata: Ada apa denganmu wahai Rasulullah?, beliau berkata: Tidakkah kalian mendengar apa yang aku dengar?, Kami berkata: Apakah itu wahai Nabiyullah?, Beliau berkata: Ini adalah 2 (dua) orang lelaki yang disiksa di kuburnya dengan siksa yang amat pedih karena dosa yang remeh maksudnya remeh menurut pandangan mereka berdua atau remeh bagi mereka berdua untuk menjauhi dosa ini. Kami berkata: Dosa apa itu yaa Rasulullah?, Beliau berkata: Orang pertama tidak mensucikan najis setelah kencing (tidak istinja'/cebok), sementara orang kedua suka menyakiti/melukai orang lain dengan lisannya, dan gemar mengadu domba. kemudian beliau mengambil 2 (dua) pelepah dari pelepah-pelepah kurma dan menancapkannya pada tiap kubur satu pelepah. Kami berkata: Wahai Rasulullah, apakah pelepah tersebut bisa memberi manfaat pada mereka?, Beliau berkata: Iya, benar, pelepah ini akan meringankan beban adzab mereka berdua selama masih basah."

(وقوله: ببركة تسبيحها) أي الجريدة الخضراء، وفيه أن اليابسة لها تسبيح أيضا، بنص: (وإن من شئ الا يسبح بحمده) فلا معنى لتخصيص ذلك بالخضراء، إلا أن يقال إن تسبيح الخضراء أكمل من تسبيح اليابسة، لما في تلك من نوع حياة.

Ucapan pengarang: [sebab barokah tasbihnya pelepah] maksudnya adalah pelepah yang hijau (basah). Dalam ungkapan ini, sesungguhnya pelepah yang kering juga bisa bertasbih, dengan dasar: "tidak ada sesuatu pun kecuali bertasbih dengan memuji-Nya". Maka tidak berarti pengkhususan tasbih hanya berlaku untuk yang basah belaka, hanya saja tasbihnya yang basah lebih sempurna daripada tasbihnya yang kering karena termasuk jenis tanaman yang hidup.

Wallahua'lam bisshowaab....


Jumat, 10 November 2023

Bagaimana perasaan mayyit yang diziarahi oleh orang yang hidup dan apakah dia tahu siapa yang ziarah kepadanya?

[Jawab:]

Orang yang meninggal sangat senang ketika diziarahi dan mengetahui siapa yang ziarah kepadanya


Kitab Al Fatawa Al Fiqhiyyah Al Kubro

(وَسُئِلَ)

 نَفَعَ اللَّهُ بِهِ هَلْ يَعْلَمُ الْأَمْوَاتُ بِزِيَارَةِ الْأَحْيَاءِ وَبِمَا هُمْ فِيهِ؟

(فَأَجَابَ)

 بِقَوْلِهِ نَعَمْ يَعْلَمُونَ بِذَلِكَ مِنْ غَيْرِ تَقْيِيدٍ بِزَمَانٍ خِلَافًا لِمَنْ قَيَّدَ كَمَا أَفَادَهُ حَدِيثُ ابْنِ أَبِي الدُّنْيَا «مَا مِنْ رَجُلٍ يَزُورُ قَبْرَ أَخِيهِ وَيَجْلِسُ عَلَيْهِ إلَّا اسْتَأْنَسَ وَرُدَّ حَتَّى يَقُومَ» وَصَحَّ حَدِيثُ «مَا مِنْ أَحَدٍ يَمُرُّ بِقَبْرِ أَخِيهِ الْمُؤْمِنِ كَانَ يَعْرِفُهُ فِي الدُّنْيَا فَيُسَلِّمُ عَلَيْهِ إلَّا عَرَفَهُ وَرَّدَ عَلَيْهِ السَّلَامَ» .

Syekh Ibnu Hajar Al Haitami ditanya (semoga Allah SWT memberi manfaat lantaran beliau),"Apakah orang² yang mati mengetahui akan ziarahnya orang² yang hidup (kepadanya) dan mengetahui apa yang mereka alami?"

Beliau (Syekh Ibnu Hajar Al Haitami) menjawab dengan ucapannya,"Ya, benar, mereka mengetahui akan hal itu tanpa dibatasi oleh waktu, menyelisihi pendapat orang yang membatasinya (dengan waktu) sebagaimana faidah yang diambil dari hadist Ibnu Abi Dunya: Tidak ada seorangpun yang berziarah ke kubur saudaranya kemudian duduk di dekatnya melainkan saudaranya tersebut pasti merasa senang dan nyaman hingga ia berdiri (dari duduknya).  Dan ada hadist shohih juga: Tidak ada seorangpun yang pergi mengunjungi kubur saudara mukminnya yang ia kenal semasa hidup di dunia kemudian ia mengucap salam kepadanya melainkan saudaranya tersebut mengenalinya (mengetahuinya) kemudian ia menjawab salamnya."

Wallahua'lam bisshowaab...